Thank you for using rssforward.com! This service has been made possible by all our customers. In order to provide a sustainable, best of the breed RSS to Email experience, we've chosen to keep this as a paid subscription service. If you are satisfied with your free trial, please sign-up today. Subscriptions without a plan would soon be removed. Thank you!
Sumber dari http://www.eramuslim.com – Januari 2009
Siapa Sebenarnya Suharto?
Bulan November 41 tahun lalu,
Jenderal Suharto yang telah sukses
mengkudeta Bung Karno, mengirim
satu tim ekonomi yang terdiri dari
Prof. Sadli, Prof. Soemitro
Djoyohadikusumoh, dan sejumlah
profesor ekonomi lulusan Berkeley
University AS—sebab itu tim ekonomi
ini juga disebut sebagai 'Berkeley
Mafia'—ke Swiss. Mereka hendak
menggelar pertemuan dengan sejumlah
konglomerat Yahudi dunia yang
dipimpin Rockefeller.
Di Swiss, sebagaimana bisa dilihat dari
film dokumenter karya John Pilger
berjudul "The New Ruler of the World' yang bisa didownload di situs youtube, tim ekonomi
suruhan Jenderal Suharto ini menggadaikan seluruh kekayaan alam negeri ini ke hadapan
Rockefeler cs. Dengan seenak perutnya, mereka mengkavling-kavling bumi Nusantara dan
memberikannya kepada pengusaha-pengusaha Yahudi tersebut. Gunung emas di Papua
diserahkan kepada Freeport, ladang minyak di Aceh kepada Exxon, dan sebagainya. Undang-
Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) tahun 1967 pun dirancang di Swiss, menuruti
kehendak para pengusaha Yahudi tersebut.
Sampai detik ini, saat Suharto sudah menemui ajal dan dikuburkan di kompleks pemakaman
keluarga di dekat Imogiri, di sebuah daratan dengan ketinggian 666 meter di atas permukaan laut
(!?), perampokan atas seluruh kekayaan alam negeri ini masih saja terus berjalan dan dikerjakan
dengan sangat leluasa oleh berbagai korporasi Yahudi Dunia. Hasilnya bisa kita lihat di manamana:
angka kemiskinan di negeri ini kian membengkak, kian banyak anak putus sekolah, kian
banyak anak-anak kecil berkeliaran di jalan-jalan raya, kian banyak orangtua putus asa dan
bunuh diri, kian banyak orang gila berkeliaran di kampung-kampung, kian banyak kriminalitas,
kian banyak kasus-kasus korupsi, dan sederet lagi fakta-fakta tak terbantahkan jika negeri ini
tengah meluncur ke jurang kehancuran. Suharto adalah dalang dari semua ini.
Tapi siapa sangka, walau sudah banyak sekali buku-buku ilmiah yang ditulis para cendekia dari
dalam dan luar negeri tentang betapa bobroknya kinerja pemerintahan di saat Jenderal Suharto
berkuasa selama lebih kuarng 32 tahun, dengan jutaan fakta dan dokumen yang tak terbantahkan,
namun nama Suharto masih saja dianggap harum oleh sejumlah kalangan. Bahkan ada yang
begitu konyol mengusulkan agar sosok yang oleh Bung Karno ini disebut sebagai Jenderal Keras
Kepala (Belanda: Koepeg) diberi penghargaan sebagai pahlawan nasional dan diberi gelar guru
bangsa. Walau menggelikan, namun hal tersebut adalah fakta.
Sebab itu, tulisan ini berusaha memaparkan apa adanya tentang Jenderal Suharto. Agar
setidaknya, mereka yang menganggap Suharto layak diberi gelar guru bangsa atau pun pahlawan
Sumber dari http://www.eramuslim.com – Januari 2009
nasional, harus bisa bermuhasabah dan melakukan renungan yang lebih dalam, sudah benarkah
tindakan tersebut.
Fakta sejarah harus ditegakkan, bersalah atau tidak seorang Suharto harus diputuskan lewat jalan
hukum yakni lewat jalur pengadilan. Adalah sangat gegabah menyerukan rakyat ini agar
memaafkan dosa-dosa seorang Suharto sebelum kita semua tahu apa saja dosa-dosa Suharto
karena dia memang belum pernah diseret ke muka pengadilan.
Tulisan ini akan berupaya memotret perjalanan seorang Suharto, sebelum dan sesudah menjadi
presiden. Agar tidak ada lagi pemikiran yang berkata, "Biar Suharto punya salah, tapi dia tetap
punya andil besar membangun negara ini. Hasil kerja dan pembangunannya bisa kita rasakan
bersama saat ini. Lihat, banyak gedung-gedung megah berdiri di Jakarta, jalan-jalan protokol
yang besar dan mulus, jalan tol yang kuat, Taman Mini Indonesia Indah yang murah meriah, dan
sebagainya. Jelas, bagaimana pun, Suharto berjasa besar dalam membangun negara ini!"
Atau tidak ada lagi orang yang berkata, "Zaman Suharto lebih enak ketimbang sekarang, harga
barang-barang bisa murah, tidak seperti sekarang yang serba mahal. Akan lebih baik kalau kita
kembali ke masa Suharto…" Hanya orang-orang Suhartoislah, yang mendapat bagian dari pesta
uang panas di zaman Orde Baru dan mungkin juga sekarang, yang berani mengucapkan itu.
Atau kalau tidak, ya bisa jadi, mereka orang-orang yang belum tercerahkan.
Suharto lahir di Kemusuk, Argomulyo,
Yogyakarta, 8 Juni 1921, dari keluarga
petani yang menganut kejawen.
Keyakinan keluarganya ini kelak terus
dipeliharanya hingga hari tua. Karirnya
diawali sebagai karyawan di sebuah
bank pedesaan, walau tidak lama.
Dia sempat juga menjadi buruh dan
kemudian menempuh karir militer
pertama kali sebagai prajurit KNIL
yang berada di bawah kesatuan tentara
penjajah Belanda. Saat Jepang masuk
di tahun 1942, Suharto bergabung
dengan PETA. Ketika Soekarno memproklamirkan kemerdekaan, Soeharto bergabung dengan
TKR.
Salah satu 'prestasi' kemiliteran Suharto yang sering digembar-gemborkannya semasa dia
berkuasa adalah Serangan Umum 1 Maret 1949 atas Yogyakarta. Bahkan 'prestasi' ini sengaja
difilmkan dengan judul 'Janur Kuning' (1979) yang memperlihatkan jika serangan umum itu
diprakarsai dan dipimpin langsung oleh Letkol Suharto. Padahal, sesungguhnya serangan umum
itu diprakarsai Sultan Hamengkubuwono IX. Hamengkubuwono IX lah yang memimpin
serangan umum melawan Belanda. Hamengkubuwono IX adalah seorang nasionalis yang
memiliki perhatian terhadap nasib rakyatnya, karena itu ia tidak mau untuk di jajah. (lihat
biografi Sultan Hamengkubuwono IX).
Sumber dari http://www.eramuslim.com – Januari 2009
Pada 1959, Suharto yang kala itu menjabat sebagai Pangdam Diponegoro dipecat oleh Nasution
dengan tidak hormat karena Suharto telah menggunakan institusi militernya untuk
mengumpulkan uang dari perusahaan-perusahaan di Jawa Tengah. Suharto kala itu juga ketahuan
ikut kegiatan ilegal berupa penyelundupan gula dan kapuk bersama Bob Hasan dan Liem Sioe
Liong.
Untuk memperlancar penyelundupan ini, didirikan perusahaan perkapalan yang dikendalikan
Bob Hasan. Konon, dalam menjalankan bisnis haramnya ini, Bob menggunakan kapal-kapal
'Indonesian Overseas' milik C.M. Chow. Siapa C.M. Chow ini? Dia adalah agen ganda. Pada
1950 dia menjadi agen rahasia militer Jepang di Shanghai. Tapi dia pun kepanjangan tangan Mao
Tse Tung, dalam merekrut Cina perantauan dari orang Jepang ke dalam jaringan komunis Asia.
Pada 1943, Chow ditugasi Jepang ke Jakarta. Ketika Jepang hengkang dari Indonesia, Chow
tetap di Jakarta dan membuka usaha perkapalan pertama di negeri ini. Chow bukan saja
membina WNI Cina di Jawa Tengah dan Timur, namun juga di Sumatera dan Sulawesi. Salah
satu binaannya adalah ayah Eddy Tansil dan Hendra Rahardja yang bermarga Tan. Tan
merupakan sleeping agent Mao di Indonesia Timur. Pada pertengahan 1980-an, Hendra Rahardja
dan Liem Sioe Liong mendirikan sejumlah pabrik di Fujian, Cina (Siapa Sebenarnya Suharto;
Eros Djarot; 2006).
Nasution kala itu sangat marah sehingga ingin memecat Suharto dari AD dan menyeretnya ke
Mahkamah Militer, namun atas desakan Gatot Subroto, Suharto dibebaskan dan akhirnya dikirim
ke SSKAD (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat). Selain Nasution, Yani juga marah atas
ulah Suharto dan di kemudian hari mencoret nama Suharto dari daftar peserta pelatihan di
SSKAD, yang mana hal ini membuat Suharto dendam sekali terhadap Yani. Terlebih Amad
Yani adalah anak kesayangan Bung Karno.
Kolonel Pranoto Rekso Samoedro diangkat sebagai Pangdam Diponegoro menggantikan
Suharto. Pranoto, sang perwira 'santri', menarik kembali semua fasilitas milik Kodam
Diponegoro yang dipinjamkan Suharto kepada para pengusaha Cina untuk kepentingan
pribadinya. Suharto sangat sakit hati dan dendam terhadap Pranoto, juga terhadap Nasution dan
Yani.
Di SSKAD, Suharto dicalonkan untuk menjadi Ketua Senat. Namun DI. Panjaitan menolak keras
dengan menyatakan dirinya tidak percaya dengan Suharto yang dinilainya tidak bisa dipercaya
karena mempunyai banyak catatan kotor dalam kair militernya, antara lain penyelundupan
bersama para pengusaha Cina dengan dalih untuk membangun kesatuannya, namun yang terjadi
adalah untuk memperkaya dirinya.
Atas kejadian itu Suharto sangat marah. Bertambah lagi dendam Suharto, selain kepada
Nasution, Yani, Pranoto, kini Panjaitan. Aneh tapi nyata, dalam peristiwa 1 Oktober 1965,
musuh-musuh Suharto—Nasution, Yani, dan Panjaitan—menjadi target pembunuhan, sedangkan
Suharto sendiri yang merupakan orang kedua di AD tidak masuk dalam daftar kematian.
Dan ketika Yani terbunuh, Bung Karno mengangkat Pranoto Rekso Samudro sebagai Kepala
Staf AD, namun Pranoto dijegal oleh Suharto sehingga Suhartolah yang mengambil-alih
Sumber dari http://www.eramuslim.com – Januari 2009
kepemimpinan AD, sehingga untuk menghindari pertumpahan darah dan perangsaudara—karena
Siliwangi di Jawa Barat (Ibrahim Adjie) dan KKO (Marinir) di Jawa Timur telah bersumpah
untuk berada di belakang Soekarno dan jika Soekarno memerintahkan untuk 'menyapu'
kekuatan Suharto di Jakarta, maka mereka menyatakan siap untuk berperang—maka Soekarno
melantik Suharto sebagai Panglima AD pada 14 Oktober 1965. (bersambung/rz) .
Pasca Perang Dunia II, AS melihat
Rusia sebagai satu-satunya pihak yang
bisa menghalangi hegemoninya atas
dunia. Diluncurkanlah Marshall Plan
sebagai upaya membendung pengaruh
komunisme yang kian lama kian
meluas, dari Eropa Timur ke arah Asia
selatan, sebuah wilayah yang sangat
strategis dari sisi perdagangan dunia
dan geopolitik, juga sangat kaya
dengan sumber daya alam dan juga
manusianya. AS sangat cemas jika
wilayah tersebut dikuasai Soviet. Dari
semua negeri di wilayah itu,
Indonesia-lah negara yang paling strategis dan paling kaya. AS sangat paham akan hal ini, sebab
itu di wilayah ini Indonesia merupakan satu-satunya wilayah yang disebut dalam Marshall Plan.
Namun untuk menundukkan Indonesia, AS jelas kesulitan karena negeri ini tengah dipimpin oleh
seorang yang sukar diatur, cerdas, dan licin. Dialah Bung Karno. Tiada jalan lain, orang ini harus
ditumbangkan, dengan berbagai cara. Sejarah telah mencatat dengan baik bagaimana CIA ikut
terlibat langsung berbagai pemberontakan terhadap kekuasaan Bung Karno. CIA juga membina
kader-kadernya di bidang pendidikan (yang nantinya melahirkan Mafia Berkeley), mendekati
dan menunggangi partai politik demi kepentingannya (antara lain lewat PSI), membina sel
binaannya di ketentaraan (local army friend) dan sebagainya. Setelah berkali-kali gagal
mendongkel Bung Karno dan bahkan sampai hendak membunuhnya, akhirnya pada paruh akhir
1965, Bung Karno berhasil disingkirkan.
Setelah peristiwa 1 Oktober 1965, secara de facto, Jenderal Suharto mengendalikan negeri ini.
Pekan ketiga sampai dengan awal 1966, Jenderal Suharto menugaskan para kaki tangannya
membantai mungkin jumlahnya mencapai jutaan orang. Mereka yang dibunuh adalah orangorang
yag dituduh kader atau simpatisan komunis (PKI), tanpa melewati proses pengadilan yang
fair. Media internasional bungkam terhadap kejahatan kemanusiaan yang melebihi kejahatan
rezim Polpot di Kamboja ini, karena memang AS sangat diuntungkan.
Jatuhnya Bung Karno dan naiknya Jenderal Suharto dirayakan dengan penuh suka cita oleh
Washington. Bahkan Presiden Nixon menyebutnya sebagai "Hadiah terbesar dari Asia
Tenggara". Satu negeri dengan wilayah yang sangat strategis, kaya raya dengan sumber daya
alam, segenap bahan tambang, dan sebagainya ini telah berhasil dikuasai dan dalam waktu
singkat akan dijadikan 'sapi perahan' bagi kejayaan imperialisme Barat.
Sumber dari http://www.eramuslim.com – Januari 2009
Benar saja, Nopember 1967, Jenderal Suharto menugaskan satu tim ekonom pro-AS menemui
para 'bos' Yahudi Internasional di Swiss. Disertasi Doktoral Brad Sampson, dari Northwestern
University AS menelusuri fakta sejarah Indonesia di awal Orde Baru. Prof. Jeffrey Winters
diangkat sebagai promotornya. Indonesianis asal Australia, John Pilger dalam The New Rulers of
The World, mengutip Sampson dan menulis:
"Dalam bulan November 1967, menyusul tertangkapnya 'hadiah terbesar' (istilah pemerintah
AS untuk Indonesia setelah Bung Karno jatuh dan digantikan oleh Soeharto), maka hasil
tangkapannya itu dibagi-bagi. The Time Life Corporation mensponsori konferensi istimewa di
Jenewa, Swiss, yang dalam waktu tiga hari membahas strategi pengambil-alihan Indonesia.
Para pesertanya terdiri dari seluruh kapitalis yang paling berpengaruh di dunia, orang-orang
seperti David Rockefeller. Semua raksasa korporasi Barat diwakili perusahaan-perusahaan
minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British
American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper
Corporation, US Steel, ICI, Leman Brothers, Asian Development Bank, Chase Manhattan, dan
sebagainya."
Di seberang meja, duduk orang-orang Soeharto yang oleh Rockefeller dan pengusahapengusaha
Yahudi lainnya disebut sebagai 'ekonom-ekonom Indonesia yang korup'.
"Di Jenewa, Tim Indonesia terkenal dengan sebutan 'The Berkeley Mafia' karena beberapa di
antaranya pernah menikmati beasiswa dari pemerintah Amerika Serikat untuk belajar di
Universitas California di Berkeley. Mereka datang sebagai peminta-minta yang menyuarakan
hal-hal yang diinginkan oleh para majikannya yang hadir. Menyodorkan butir-butir yang dijual
dari negara dan bangsanya. Tim Ekonomi Indonesia menawarkan: tenaga buruh yang banyak
dan murah, cadangan dan sumber daya alam yang melimpah, dan pasar yang besar."
Masih dalam kutipan John Pilger, "Pada hari kedua, ekonomi Indonesia telah dibagi sektor demi
sektor." Prof. Jeffrey Winters menyebutnya, "Ini dilakukan dengan cara yang amat
spektakuler."
"Mereka membaginya dalam lima seksi: pertambangan di satu kamar, jasa-jasa di kamar lain,
industri ringan di kamar satunya, perbankan dan keuangan di kamar yang lain lagi; yang
dilakukan oleh Chase Manhattan duduk dengan sebuah delegasi yang mendiktekan kebijakankebijakan
yang dapat diterima oleh mereka dan para investor lainnya. Kita saksikan para
pemimpin korporasi besar ini berkeliling dari satu meja ke meja lainnya, mengatakan, 'Ini yang
kami inginkan, itu yang kami inginkan, ini, ini, dan ini.' Dan mereka pada dasarnya merancang
infrastruktur hukum untuk berinvestasi. Tentunya produk hukum yang sangat menguntungkan
mereka. Saya tidak pernah mendengar situasi seperti itu sebelumnya, di mana modal global
duduk dengan wakil dari negara yang diasumsikan sebagai negara berdaulat dan merancang
persyaratan buat masuknya investasi mereka ke dalam negaranya sendiri."
Freeport mendapatkan gunung tembaga di Papua Barat (Henry Kissinger, pengusaha Yahudi
AS, duduk dalam Dewan Komisaris). Sebuah konsorsium Eropa mendapatkan Nikel di Papua
Barat. Sang raksasa Alcoa mendapatkan bagian terbesar dari bauksit Indonesia. Sekelompok
Sumber dari http://www.eramuslim.com – Januari 2009
perusahaan Amerika, Jepang, dan Perancis mendapatkan hutan-hutan tropis di Kalimantan,
Sumatera, dan Papua Barat.
Sebuah undang-undang tentang penanaman modal asing yang dengan terburu-buru disodorkan
kepada Presiden Soeharto membuat perampokan negara yang direstui pemerintah itu bebas pajak
untuk lima tahun lamanya. Oleh Suharto, rakyat dijejali dengan propaganda pembangunan,
Pancasila, dan trickle down effect terhadap peningkatan kesejahteraannya, tapi fakta yang terjadi
di lapangan sesungguhnya adalah proses pemiskinan bangsa secara sistematis yang dilakukan
rezim Suharto.
Pada 12 Maret 1967, Jenderal Soeharto
dilantik sebagai Presiden RI ke-2. Tiga
bulan kemudian, dia membentuk Tim
Ahli Ekonomi Kepresidenan yang
terdiri dari Prof Dr. Widjojo Nitisastro,
Prof. Dr. Ali Wardhana, Prof Dr. Moh.
Sadli, Prof Dr. Soemitro
Djojohadikusumo, Prof Dr. Subroto,
Dr. Emil Salim, Drs. Frans Seda, dan
Drs. Radius Prawiro. Seluruhnya pro
kapitalisme.
Nopember 1967, Suharto mengirim
tim ekonomi ini ke Swiss menemui
para CEO Yahudi Internasional. Lahirlah UU PMA 1967 yang sangat menguntungkan imperialis
Barat. Prinsip kemandirian ekonomi Indonesia yang dijaga mati-matian Bung Karno, oleh
Jenderal Suharto dihabisi dengan menjadikan Indonesia sebagai negara yang sangat tergantung
pada Barat sebagai kekuatan kapitalis dunia.
"Indonesia Baru" yang lebih pro-kapitalisme sesungguhnya telah dirancang sejak tahun-tahun
1950-an. David Ransom dalam artikelnya yang populer berjudul "Mafia Berkeley dan
Pembunuhan Massal di Indonesia: Kuda Troya Baru dari Universitas-Universitas AS Masuk ke
Indonesia" (Ramparts, 1970) memaparkan jika AS menggunakan dua strategi untuk
menaklukkan Indonesia, tentu saja dengan menyingkirkan Bung Karno. Pertama, membangun
satu kelompok intelektuil yang berpikiran Barat. Dan kedua, membangun satu sel dalam tubuh
ketentaraan yang siap bekerjasama dengan AS.
Yang pertama didalangi oleh berbagai yayasan beasiswa seperti Ford Foundation dan
Rockeffeler Foundation, juga berbagai universitas ternama AS seperti Berkeley, Harvard,
Cornell, dan juga MIT. David Ransom menulis, dua tokoh Partai Sosialis Indonesia (PSI),
sebuah partai kecil yang berhaluan sosialis-kanan, yakni Soedjatmoko dan Sumitro
Djojohadikusumo menjadi ujung tombak pembentukan jaringan intelektuil pro-Barat di
Indonesia. Mereka, demikian Ransom, dibina oleh AS sejak akhir tahun 1949-an.
Sumber dari http://www.eramuslim.com – Januari 2009
Sedang tugas kedua dilimpahkan kepada CIA. Salah satu agennya bernama Guy Pauker yang
bergabung dengan RAND Corporation mendekati sejumlah perwira tinggi lewat salah seorang
yang dikatakan berhasil direkrut CIA, yakni Deputi Dan Seskoad Kol. Soewarto. Dan Intel
Achmad Soekendro juga dikenal dekat dengan CIA. Lewat orang inilah, demikian Ransom,
komplotan AS, mendekati militer. Suharto adalah murid dari Soewarto di Seskoad.
Di Seskoad inilah para intelektuil binaan AS diberi kesempatan mengajar para perwira.
Terbentuklah jalinan kerjasama antara sipil-militer yang pro-AS. Paska tragedi 1965 dan
pembantaian rakyat Indonesia, yang dituduh komunis, dan kelompok ini mulai membangun
'Indonesia Baru'. Para doktor ekonomi yang mendapat binaan dari Ford kembali ke Indonesia
dan segera bergabung dengan kelompok ini, di antara Emil Salim.
Jenderal Suharto membentuk Trium-Virat (pemerintahan bersama tiga kaki) dengan Adam Malik
dan Sultan Hamengkubuwono IX. Ransom menulis, "Pada 12 April 1967, Sultan mengumumkan
satu pernyataan politik yang amat penting yakni garis besar program ekonomi rejim baru itu
yang menegaskan mereka akan membawa Indonesia kembali ke pangkuan Imperialis.
Kebijakan tersebut ditulis oleh Widjojo dan Sadli."
Ransom melanjutkan, "Dalam merinci lebih lanjut program ekonomi yang baru saja di gariskan
Sultan, para teknokrat dibimbing oleh AS. Saat Widjojo kebingungan menyusun program
stabilisasi ekonomi, AID mendatangkan David Cole, ekonom Harvard yang baru saja membuat
regulasi perbankan di Korea Selatan untuk membantu Widjojo. Sadli juga sama, meski sudah
doktor, tapi masih memerlukan "bimbingan". Menurut seorang pegawai Kedubes AS, "Sadli
benar-benar tidak tahu bagaimana seharusnya membuat suatu regulasi Penanaman Modal Asing.
Dia harus mendapatkan banyak dari Kedutaan Besar Amerika Serikat.
Ini merupakan tahap awal dari program Rancangan Pembangunan Lima Tahunan (Repelita)
Suharto, yang disusun oleh para ekonom Indonesia didikan AS, yang masih secara langsung
dimbing oleh para ekonom AS sendiri dengan kerjasama dari berbagai yayasan yang ada.
Juni 1968, Jenderal Suharto secara diam-diam dan mendadak mengadakan reuni dengan orangorang
binaan Ford, yang dikenal sebagai "Mafia Berkeley" (untuk merancangkan susunan
Kabinet Pembangunan dan badan-badan penting tingkat tinggi lainnya): sebagai Menteri
Perdagangan ditunjuk Dekan FEUI Sumitro Djojohadikusumo (Doctor of Philosophy dari
Rotterdam), Ketua BPPN ditunjuk Widjojo Nitisastro (Doctor of Philosophy Berkeley, 1961),
Wakil Ketua BPN ditunjuk Emil Salim (Doctor of Philosophy, Berkeley, 1964 ), Dirjen
Pemasaran dan Perdagangan ditunjuk Subroto (Doctor of Philosophy dari Harvard, 1964),
Menteri Keuangan ditunjuk Ali Wardhana (Doctor of Philosophy, Berkeley, 1962), Ketua Team
PMA Moh. Sadli (Master of Science, MIT, 1956), Sekjen Departemen Perindustrian ditunjuk
Barli Halim (MBA Berkeley, 1959), sedang Sudjatmoko, penasehat Adam Malik, diangkat jadi
Duta Besar di Washington, posisi kunci poros Jakarta-Washington.
Tim ekonomi "Indonesia Baru" ini bekeja dengan arahan langsung dari Tim Studi Pembangunan
Harvard (Development Advisory Service, DAS) yang dibiayai Ford Foundation. "Kita bekerja di
belakang layar," aku Wakil Direktur DAS Lister Gordon. AS segera memback-up penguasa baru
Sumber dari http://www.eramuslim.com – Januari 2009
ini dengan segenap daya sehingga stabilitas ekonomi Indonesia yang sengaja dirusak oleh AS
pada masa sebelum 1965 bisa sedikit demi sedikit dipulihkan.
Mereka inilah yang berada dibelakang Repelita yang mulai dijalankan pada awal 1969, dengan
mengutamakan penanaman modal asing dan swasembada hasil pertanian. Dalam banyak kasus,
pejabat birokrasi pusat mengandalkan pejabat militer di daerah-daerah untuk mengawasi
kelancaran program Ford ini.
Mereka bekerjasama dengan para tokoh daerah yang terdiri dari para tuan tanah dan pejabat
administratif. Terbentuklah kelompok baru di daerah-daerah yang bekerja untuk memperkaya
diri dan keluarganya. Mereka, kelompok pusat dan kelompok daerah, bersimbiosis-mutualisme.
Mereka juga menindas para petani yang bekerja di lapangan.
Benih Orde Baru tumbuh di atas
genangan darah dan tetesan air mata
rakyatnya. Arah pembangunan
(Repelita) didesain sesuai dengan
keinginan Washington dengan
mengutamakan eksploitasi segenap
kekayaan alam bumi Indonesia yang
dikeruk habis-habisan dan diangkut ke
luar guna memperkaya negeri-negeri
Barat.
Inti pergantian kekuasaan dari Bung
Karno ke Jenderal Besar Suharto
adalah berubahnya prinsip
pembangunan ekonomi Indonesia, dari
kemandirian menjadi ketergantungan.
April 1966 Suharto kembali membawa Indonesia bergabung dengan PBB. Setelah itu, Mei 1966,
Adam Malik mengumumkan jika Indonesia kembali menggandeng IMF. Padahal Bung Karno
pernah mengusir mereka dengan kalimatnya yang terkenal: "Go to hell with your aid!"
Untuk menjaga stabilitas penjarahan kekayaan negeri ini, maka Barat merancang Repelita. Tiga
perempat anggaran Repelita I (1969-1974) berasal dari utang luar negeri. "Jumlahnya
membengkak hingga US$ 877 juta pada akhir periode. Pada 1972, utang asing baru yang
diperoleh sejak tahun 1966 sudah melebihi pengeluaran saat Soekarno berkuasa." (M.C. Ricklefs;
Sejarah Indonesia Modern, 1200-2004; Sept 2007).
Dalam hitungan bulan setelah berkuasa, kecenderungan pemerintahan baru ini untuk
memperkaya diri dan keluarganya kian menggila. Rakyat yang miskin bertambah miskin, sedang
para pejabat walau sering menyuruh rakyat agar hidup sederhana, namun kehidupan mereka
sendiri kian hari kian mewah. Bulan madu antara Suharto dengan para mahasiswa yang dulu
mendukungnya dengan cepat pudar.
Sumber dari http://www.eramuslim.com – Januari 2009
Mahasiswa melihat penguasa baru ini pun tidak beres. Militer dipelihara dan digunakan sebagai
tameng penjaga status-quo. Kekuatan politik rakyat dibabat habis dengan dibonsainya partaipartai
politik hingga hanya ada tiga: Golkar, PPP, dan PDI. "Pada Februari 1970, pemerintah
mengumumkan semua pegawai negeri harus setia kepada pemerintah. Mereka tidak diizinan
bergabung dengan partai politik lain kecuali Golkar," demikian Ricklefs.
Unjuk rasa mahasiswa yang dilakukan di depan Kantor Pangdam Siliwangi dan juga Kantor
Gubernur Jawa Barat, 9 Oktober 1970, dengan keras mengecam kelakuan tentara yang kian hari
kian dianggap repressif. Delapan tuntutan kala itu disampaikan: Kebalkah ABRI terhadap
hukum! Mengapa pakaian seragam diangap lebih mampu? Apakah seragam sama dengan karcis
kereta-api, bioskop, bus, opelet? Kapan ABRI berubah kelakuan? Siapa berani tertibkan ABRI?
Kapan ada jaminan hukum bagi rakyat? Sudah merdekakah kita dari kesewenang-wenangan
hukum?" (Francois Raillon; Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia 1966-1974; Des 1985).
Francis Raillon menulis, "Sepanjang 1972-1973 di sekitar Suharto terjadi rebutan pengaruh
antara 'kelompok Amerika' melawan 'kelompok Jepang'. Yang pertama terdiri dari para menteri
teknokrat dan sejumlah Jenderal, Pangkopkamtib Jend. Soemitro salah satunya. Kelompok
kedua, dipimpin Aspri Presiden, Jend. Ali Moertopo, dan Jend. Soedjono Hoemardhani."
Suharto memang seorang pemimpin yang sangat lihai, dan tentu saja licin bagai belut yang
berenang di dalam genangan oli. Dia memanfaatkan semua orang yang berada di sekelilingnya
guna memperkuat posisinya sendiri. Ketika menumbangkan Bung Karno, Suharto menggalang
kekuatan militer, teknokrat pro-kapitalisme, dan ormas keagamaan, terutama umat Islam, untuk
menghancurkan komunisme. Namun setelah berkuasa, umat Islam ditinggalkan. Suharto malah
merangkul kekuatan salibis faksi Pater Beek SJ dan juga CSIS di mana Ali Moertopo menjadi
sesepuhnya, dan kemudian di era 1980-an akan muncul tokoh sentral Islamophobia, murid Ali
Moertopo, bernama Jenderal Leonardus Benny Moerdhani.
Dengan dukungan penuh terutama dari militer—tentu ada harga yang harus dibayarkan oleh
Suharto, yakni membagi kue KKN kepada para perwiranya—maka kekuatan sipil tidak ada
artinya. Siapa pun yang berseberangan dengannya, maka langsung dicap sebagai Anti Pancasila.
Selama periode 1970-awal 1980-an, tidak ada kekuatan sipil yang berarti yang mampu
menentang Suharto. Bayang-bayang pembunuhan massal yang dilakukan tentaranya Suharto
pada akhir 1965 sampai awal 1966 menciptakan teror tersendiri di dalam benak rakyatnya.
Nations and Character Building yang diperjuangkan para pendiri republik ini dalam sekejap
dihancurkan oleh Suharto, dan digantikan dengan Exploitation de L'homee par L'homee,
eksploitasi yang dilakukan kubu penguasa terhadap rakyat kecil. Patut digaris-bawahi jika
eksploitasi ini terus dilakukan oleh para elit pemerintah dan juga elit parpol sampai hari ini. Tak
aneh jika sekarang ada yang berterus terang jika Suharto adalah gurunya.
Catatan hitam tentang Suharto tidak berhenti sampai disini. Dalam penegakan Hak Asasi
manusia (HAM) misalnya, rezim Orde Baru di tahun 1980-an sangat dikenal di luar negeri
sebagai rezim fasis-militeristis, sebagaimana Jerman di bawah Hitler, Italia di bawah Mussolini,
Kamboja di bawah Polpot, dan Chile di bawah Jenderal Augusto Pinochet. Ini ditegaskan
Indonesianis asal Perancis, Francois Raillon. Bahkan M.C.
Sumber dari http://www.eramuslim.com – Januari 2009
Ricklefs, sejarawan Australia, menyatakan jika penegakan HAM-nya rezim Suharto jauh lebih
buruk ketimbang penguasa jajahan Belanda. "Orde Baru lebih banyak melakukan hukuman itu
ketimbang pemerintah jajahan Belanda. Orde Baru mengizinkan penyiksaan terhadap narapidana
politiknya. Sentralisasi kekuasaan ekonomi, politik, administrasi, dan militer di tangan segelintir
elit dalam pemerintahan Suharto juga lebih besar ketimbang dalam masa pemerintahan Belanda,"
tegas Ricklefs yang bertahun-tahun menelusuri sejarah bangsa ini sejak zaman masuknya Islam.
Dalam tulisan selanjutnya akan dipaparkan satu-persatu "prestasi" rezim Suharto dalam
penegakan hak asasi manusia, terutama yang menyangkut umat Islam, hubungan haramnya
dengan Zionis-Israel, dan banyak lagi yang lainnya.
Catatan atas kejahatan HAM rezim Suharto akan dimulai dari
wilayah paling timur negeri ini, yakni Nanggroe Aceh Darussalam
(NAD). Kejahatan HAM atas Muslim Aceh diawali oleh VOC
Belanda, diteruskan oleh rezim Orde Lama Soekarno, dan ditindas
lebih kejam lagi di masa kekuasaan Suharto. Bahkan di zaman
Jenderal Suharto-lah, NAD yang sangat berjasa dalam merebut dan
mempertahankan kemerdekaan RI—terutama dari segi finansial,
sebab itu NAD juga disebut sebagai 'Lumbung Uang RI'—malah
dijadikan lapangan tembak dengan nama Daerah Operasi Militer
(DOM), 1989-1998.
NAD merupakan daerah yang sangat kaya dengan sumber daya
alamnya, yakni minyak dan gas bumi. Sampai dengan akhir
dasawarsa 1980-an, Aceh telah menyumbang lebih dari 30% total
produksi ekspor migas Indonesia. Pada 1971 di Aceh Utara
ditemukan cadangan gas alam cair (LNG) yang sangat besar. Mobil Oil, perusahaan tambang
AS, diberi hak untuk mengekploitasinya dan dalam enam tahun kemudian kompleks penyulingan
KNG sudah beroperasi di dalam areal yang dinamakan Zona Industri Lhokseumauwe (ZIL). Di
tempat yang sama, berabad lalu, di sinilah Kerajaan Islam pertama Samudera Pase berdiri, dan
kini oleh Suharto diserahkan kekayaan alam negeri ini yang sungguh besar kepada AS.
Sebelumnya, di Aceh Timur, dalam waktu 30 tahun sejak 1961, Asamera, suatu perusahaan
minyak Kanada, telah menggali tak kurang dari 450 sumur minyak. Sumber gas alam yang
ditemukan di sekitar sumur-sumur itu lebih kaya dari persediaan gas alam di Aceh Utara.
Produksi Pabrik Pupuk ASEAN di Aceh hampir 90 persen diekspor, dan dari kompleks
petrokimia diharapkan penjualan kimia aromatik sebesar US$200 juta setahun. Pabrik Kertas
Kraft Aceh juga sudah mulai memproduksi kertas karung semen sejak 1989. Dari penghematan
impor pembungkus semen saja pemerintah sudah memperoleh laba US$89 juta setahun, sedang
ekspor kertas semen menghasilkan US$43 juta. Pada 1983 Aceh menyumbang 11 persen dari
seluruh ekspor Indonesia.
Suharto sangat tahu jika kekayaan alam Aceh sungguh luar biasa. Sebab itu, dengan amat rakus
rezim Orde Baru terus-menerus menguras kekayaan alam ini. Ironisnya, nyaris semua
keuntungan yang diperoleh dari eksploitasi kekayaan alam Aceh ini dibawa kabur ke Jakarta.
Rakyat Aceh tidak mendapatkan apa-apa. Mereka tetap tinggal dalam kemiskinan dan
Sumber dari http://www.eramuslim.com – Januari 2009
kemelaratan. Pemerintah Jakarta bukannya mengembalikan uang Aceh ke rakyat Aceh sebagai
pemilik yang sah, tapi malah mengirim ribuan tentara untuk memerangi rakyat Aceh yang sudah
tidak berdaya.
Dalam dasawarsa 1990-an, dari 27 provinsi di Indonesia, Aceh menempati posisi provinsi ke-7
termiskin di seluruh Indonesia. Lebih dari 40 persen dari 5.643 desa di Aceh telah jatuh ke
bawah garis kemiskinan. Hanya 10 persen pedesaan Aceh menikmati aliran listrik. Di kawasan
ZIL hanya 20% penduduk yang mendapat saluran air bersih. Yang lain mendapat pasok air dari
sumur galian yang sering tercemar oleh limbah zona industri.
Peneliti AS, Tim Kell, dalam laporannya menulis, "Friksi dan perbenturan nilai pun terjadi
antara penduduk asli dan pendatang. Para migran menenggak bir, berdansa-dansi,
melambungkan harga-harga di pasar. Mereka hidup mewah di kolam kemiskinan rakyat Aceh.
Limbah industri mencemari tanah dan masuk ke sumur-sumur penduduk asli. Polusi meluas ke
laut, merusak lahan nelayan. Pengangguran meningkat. Pemiskinan berlanjut. Industrialisasi
gagal merombak struktur perekonomian rakyat Aceh secara fundamental, karena ia memang tak
pernah menjadi bagian dari perekonomian asli rakyat Aceh". Inilah salah satu "hasil"
pembangunan rezim Suharto di Aceh.
Secara obyektif Tim Kell melanjutkan, "Pada tahun-tahun 1940-an para ulama PUSA sudah
kecewa atas tak diterapkannya hukum Islam di seluruh Indonesia. Pada 1950, status Aceh
sebagai provinsi dicabut dan dilebur ke dalam Provinsi Sumatera Utara. Pemerintahan sipil,
pertahanan, dan perekonomian, diambil dari ruang lingkup pengaruh PUSA. Kekecewaan atas
perlakuan semacam ini, dan kecemasan akan kehilangan identitasnya, mengantar Aceh ke
pemberontakan 1953 di bawah pimpinan Daud Beureueh."
Di bawah rezim Suharto, jenderal ini membawa ideologi pembangunan dan stabilitas politik, dan
dengan kacamata kuda yang "sentralistik-Majapahit", Suharto mengangap sama semua orang,
semua daerah, semua suku, semua organisasi, termasuk Aceh. Suharto menganggap semuanya
itu sama saja dengan "Majapahit". Status "istimewa" sebagai negeri Islam Aceh pun dihabisi.
Otonomi Aceh di bidang agama, pendidikan, dan hukum adat, sebagaimana tercantum dalam UU
No.5/1974 tentang Dasar-Dasar Pemerintahan Daerah, pada kenyataannya keistimewaan
Provinsi Aceh hanyalah di atas kertas. Gubernur dipilih hanya dengan persetujuan Suharto,
Bupati hanya bisa menjabat dengan restu Golkar. Pelecehan Aceh terus berlanjut. Aceh bahkan
dianggap tak cukup terhormat untuk menjadi tuan rumah suatu Kodam. Komando Daerah Militer
dipindahkan ke Medan.
Pada 1990, Gubernur Ibrahim Hasan yang notabene direstui Suharto mewajibkan semua murid
sekolah dasar Islam untuk mampu membaca Al-Qur'an. Peraturan ini dikecam oleh para pejabat
di Jakarta. Bahkan Depdikbud mengirim tim untuk menyelidiki "penyelewengan" ini. Beberapa
bulan kemudian pejabat Dikbud kabupaten melonggarkan peraturan yang melarang murid
perempuan memakai jilbab ke sekolah. Kepada murid yang ingin berjilbab diizinkan untuk
menyimpang dari peraturan tersebut. Pemerintah Jakarta bereaksi keras atas pelonggaran ini.
Peraturan nasional harus dipatuhi secara nasional, tanpa kecuali. Dan jilbab diharamkan oleh
rezim Suharto di Aceh.
Sumber dari http://www.eramuslim.com – Januari 2009
Ted Robert Gurr dalam Why Men Rebel telah menulis bahwa orang akan berontak jika way of
life-nya terancam oleh perkembangan baru. Orang Aceh telah kehilangan sumber alamnya, mata
pencariannya, gaya hidupnya. Orang Aceh kehilangan suaminya, anak-anaknya, kehilangan
harapannya, kehilangan segalanya . . . Lalu masih adakah orang yang sangat-sangat bebal yang
masih saja bertanya, "Mengapa rakyat Aceh berontak?" Rakyat Aceh jelas telah dijadikan
tumbal bagi rezim Orde Baru. Telah diperkosa habis-habisan oleh Jakarta. Siapa pun yang punya
hati nurani jelas akan mendukung sikap rakyat Aceh yang menarik kembali kesediaannya
bergabung dengan Republik Indonesia jika hal seperti ini terus dibiarkan. Kesabaran itu ada
batasnya!
Selain menguras habis kekayaan alam
Aceh, rezim Suharto juga melancarkan
genosida atas Muslim Aceh. Yang
terkenal adalah masa DOM atau
Operasi Jaring Merah (1989-1998).
Banyak peneliti DOM sepakat jika
kekejaman rezim ini terhadap Muslim
Aceh bisa disetarakan dengan
kekejaman yang dilakukan Milisi
Serbia terhadap Muslim Bosnia di era
1990-an. Wilayah NAD yang sangat
luas, sekujur tanahnya dijadikan
kuburan massal di sana-sini. Muslim
Aceh yang berabad-abad hidup dalam
izzah Islam, dihinakan oleh rezim fasis
Suharto serendah-rendahnya.
Al-Chaidar, putera Aceh yang menjadi peneliti sejarah tanah kelahirannya, menyatakan, "Jika
Kamboja di bawah rezim Pol Pot dikenal memiliki The Killing Fields atau Ladang pembantaian,
maka di Aceh dikenal pula Bukit Tengkorak. Di Aceh, jumlah ladang pembantaian yang besar
ada 35 titik, ini jauh lebih banyak ketimbang ladang pembantaian yang ada di Kamboja."
Begitu banyak pameran kekejaman dan kebiadaban yang ditimpakan terhadap Muslim Aceh oleh
rezim Suharto, sehingga jika dijadikan buku maka bukan mustahil, riwayat Tragedi Aceh akan
menyamai tebalnya jumlah halaman koleksi perpustakaan Iskandariyah sebelum dibakar habis
pasukan Mongol.
Dari jutaan kasus kejahatan HAM di Aceh, salah satunya adalah tragedi yang menimpa Tengku
Bantaqiah, pemimpin Dayah (Pondok Pesantren) Babul Nurillah di Beutong Ateuh pada 23 Juli
1999. Ironisnya, walau secara resmi DOM sudah dicabut, namun kekejaman dan kebiadaban
yang menimpa Muslim Aceh tidaklah surut. Tragedi yang menimpa Tengku Bantaqiah dan
santrinya merupakan bukti.
Lengsernya Suharto pada Mei 1998 tidak berarti lengsernya sistem dan tabiat kekuasaan represif
ala Orde Baru. Para presiden setelah Suharto seperti Habbie, Abdurrahman Wahid, Megawati,
dan Susilo Bambang Yudhoyono, semuanya pada kenyataannya malah melestarikan sistem Orde
Sumber dari http://www.eramuslim.com – Januari 2009
Baru ini. Salah satu buktinya adalah KKN yang di era reformasi ini bukannya hilang namun
malah tetap abadi dan berkembang penuh inovasi.
Sebab itulah, dicabutnya status DOM di Aceh pada 1998 tidak serta-merta tercerabutnya teror
dan kebiadaban yang selama ini bergentayangan di Aceh. Feri Kusuma, salah seorang aktivis
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Aceh menulis secara khusus tentang
Tragedi Tengku Bantaqiah ini. Dalam artikel berjudul 'Jubah Putih di Beutong Ateuh', Feri
mengawali dengan kalimat, "Beutong Ateuh memiliki sejarah yang cukup panjang. Daerah ini
dibangun sejak masa kolonial Belanda, begitu orang Beutong bersaksi. Kecamatan Beutong
Ateuh terdiri dari empat desa yaitu Blang Meurandeh, Blang Pu'uk, Kuta Teungoh dan Babak
Suak. Kondisi geografisnya cocok untuk bersantai sambil menikmati panorama alam yang
indah. Di daerah yang terletak di antara dua gunung ini mengalir sungai Beutong yang sejuk dan
jernih. Pegunungannya yang mengelilingi Beutong Ateuh termasuk gugusan Bukit Barisan…"
Eramuslim yang pernah mengunjungi hutan belantara ini di tahun 2001, dua tahun setelah
tragedi, menjumpai kondisi yang sangat mengenaskan. Bukan saja di Beutong Ateuh, namun
juga nyaris di seluruh wilayah NAD. Kemiskinan ada di mana-mana, padahal tanah Aceh adalah
tanah yang sangat kaya raya dengan sumber daya alamnya. Jakarta telah menghisap habis
kekayaan Aceh!
Beutong Ateuh terletak di perbatasan Aceh Tengah dan Aceh Barat. Dari Ule Jalan ke Beutong
Ateuh, kita akan melewati pos kompi Batalyon 113/Jaya Sakti yang terletak di areal kebun
kelapa sawit. Di areal kompi ini, tepatnya di gapura, terpasang papan pengumuman berisi
tulisan "TEMPAT LATIHAN PERANG TNI". Sekitar 10 kilometer dari kompi itu terpancang
sebuah petunjuk jalan yang bertuliskan "SIMPANG CAMAT"; tanda menuju ke sebuah
pemukiman. Namun tidak ada sebuah rumah pun di daerah ini. Sejauh mata memandang hanya
tampak rerimbunan pohon besar di atas bukit dan jurang yang menganga. Tak heran jika hutan
Cut Nyak Dien dan pasukannya memilih hutan ini sebagai pertahanan terakhir.
Walau berjarak lebih kurang 15 kilometer dari hutan ini, namun Kecamatan Beutong Ateuh tidak
berbeda dengan hutan Simpang Camat. Di tengah-tengah hutan, kain putih usang terlihat
berkibaran di areal Dayah. Kubah mushola, atap beberapa rumah, dan bilik pengajian yang
berhadapan langsung dengan sungai Beutong terlihat jelas.
Tengku Bantaqiah mendirikan pesantren di desa Blang Meurandeh pada 1982 dan memberinya
nama Babul Al Nurillah. Abu Bantaqiah, begitu para murid memanggilnya, adalah alim ulama
yang disegani dan dihormati. Disini, Dayah Babul Al Nurillah mengajarkan ilmu agama, seni
bela diri, dan juga berkebun dengan menanam berbagai macam sayuran untuk digunakan sendiri.
Kegiatan di Dayah ini tidak berbeda dengan pesantren lainnya di berbagai daerah di Indonesia.
Selain mereka yang menetap di Dayah, ada pula orang-orang yang sengaja datang dan belajar
agama untuk mengisi libur kerja atau sekolah. Jumlahnya lebih banyak daripada santri yang
tinggal di pesantren.
Di Dayah ini, para santrinya kebanyakan adalah mereka yang pernah melakukan tindakantindakan
tak terpuji di masyarakat seperti mabuk-mabukan, mencuri atau kejahatan lain yang
Sumber dari http://www.eramuslim.com – Januari 2009
merugikan dirinya sendiri maupun orang banyak. "Menurut Tengku Bantaqiah, untuk apa
mengajak orang yang sudah ada di dalam masjid, justru mereka yang masih di luar masjidlah
yang harus kita ajak. Itulah dasar dari penerimaan orang-orang seperti mereka tadi menjadi
murid di sini," tulis Feri Kusuma.
Bantaqiah adalah ulama yang teguh pendirian, sederhana, dan tidak goyah dengan godaan dunia.
Baginya, dunia ada di dalam genggamannya, bukan di hatinya. Mungkin sebab itu dia pernah
menolak bergabung sebagai anggota MUI cabang Aceh. Bantaqiah juga tidak bersedia masuk ke
dalam partai politik mana pun. Baginya, Partai Allah sudah lebih dari cukup, tidak untuk yang
lain. Sebab itu, Bantaqiah sering difitnah oleh orang yang berseberangan dengan dirinya. Ia
dituduh mengajarkan kesesatan dan pada 1985 dicap dengan sebutan Gerombolan Jubah Putih.
Pemerintah Aceh berusaha melunakkan sikap Bantaqiah dengan membangunkan sebuah
pesantren untuknya, namun lokasinya di kecamatan Beutong Bawah, jauh dari Babul Al
Nurillah. Ini membuatnya menolak "pesantren sogokan" tersebut. Hal ini membuat hubungan
Bantaqiah dengan Pemerintah setempat kurang harmonis. Dia dituduh sebagai salah satu petinggi
GAM pada 192 dan dijebloskan ke penjara dengan hukuman 20 tahun.
Ketika Habibie menggantikan Suharto
dan menyempatkan diri ke Aceh,
Bantaqiah dibebaskan. Namun hal ini
rupanya tidak berkenan di hati tentara
hasil didikan rezim Suharto.
Di mata tentara, Bantaqiah adalah
sama saja dengan kelompok-kelompok
bersenjata Aceh yang tidak mau
menerima Pancasila. Sebab itu
keberadaannya harus dienyahkan dari
negeri Pancasila ini. Para tentara Suharto itu lupa, berabad-abad sebelum Pancasila lahir,
berabad-abad sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia lahir, Nanggroe Aceh Darussalam
sudah menjadi sebuah negeri merdeka dan berdaulat lengkap dengan Kanun Meukota Alam,
sebuah konstitusi yang sangat lengkap. Bahkan jauh lebih lengkap ketimbang UUD 1945 yang
diamandemen di tahun 2002.
Sebab itu, pada Kamis, 22 Juli 1999, pasukan TNI yang terdiri dari berbagai kesatuan seperti
angkatan darat dan Brimob mendirikan banyak tenda di sekitar pegunungan Beutong Ateuh.
Walau warga setempat curiga, karena pengalaman membuktikan, di mana aparat bersenjata hadir
dalam jumlah banyak, maka pasti darah rakyat tumpah, namun warga tidak bisa berbuat apa-apa.
Firasat warga sipil terbukti. Tiba-tiba di hari itu juga terjadi insiden penembakan terhadap warga
yang tengah mencari udang. Satu luka dan yang satu lagi berhasil menyelamatkan diri masuk
hutan. Teror ini meresahkan warga.
Sedari subuh keesokan harinya, Jumat pagi, 23 Juli 1999, TNI dan Brimob sudah bergerak diamdiam
mendekati pesantren dengan perlengkapan tempur garis pertama, yang berarti senjata api
sudah terisi amunisi siap tembak. Pukul 08.00 tentara dan Bribom sudah berada di seberang
Sumber dari http://www.eramuslim.com – Januari 2009
sungai dekat pesantren. Dengan alasan mencari GAM, pada pukul 09.00 mereka membakar
rumah penduduk yang letaknya hanya 100 meter di timur pesantren. Satu jam kemudian,
pasukan tersebut mulai bergerak ke pesantren. Dengan seragam tempur lengkap dengan senjata
serbu laras panjang, wajah dipulas dengan cat kamuflase berwarna hijau dan hitam, mereka
mengepung pesantren dan berteriak-teriak mencaci-maki Tengku Bantaqiah dan memintanya
segera menemui mereka.
Menjelang waktu sholat Jumat, para santri biasa berkumpul dengan Tengku Bantaqiah guna
mendengar segala nasehat dan ilmu agama. Mendengar teriakan dari tentara yang menyebutnyebut
namanya, Bantaqiah pun datang bersama seorang muridnya. Aparat bersenjata itu tidak
sabaran. Mereka merangsek ke dalam dan memerintahkan semua santri laki-laki untuk
berkumpul di lapangan dengan berjongkok menghadap sungai.
Aparat dengan suara keras dan mengancam meminta agar Bantaqiah menyerahkan senjata
apinya. Tengku Bantaqiah bingung karena memang tidak punya senjata apa pun, kecuali hanya
pacul dan parang yang sehari-hari digunakan untuk berkebun dan membuka hutan. Aparat tidak
percaya dengan semua keterangan Bantaqiah. Sebuah antena radio pemancar yang terpasang di
atap pesantren dijadikan bukti oleh aparat jika selama ini Bantaqiah menjalin komunikasi dengan
GAM. Padahal itu antene radio biasa.
"Komandan pasukan memerintahkan agar antena tersebut dicopot, dengan menyuruh putra
Bantaqiah yang bernama Usman untuk menaiki atap pesantren. Usman langsung berjalan
menuju rumahnya untuk mengambil peralatan, namun sebelum ia mencapai rumah yang jaraknya
hanya tujuh meter dari tempat tentara mengumpulkan para santri, seorang anggota pasukan
memukul Usman dengan popor senapan," tulis Feri Kusuma, aktivis Kontras Aceh, berjudul
"Jubah Putih di Beutong Ateuh".
Melihat anaknya terjatuh, secara refleks Bantaqiah berlari mendekatnya hendak menolong. Tibatiba
tentara memberondongnya dengan senjata yang dilengkapi pelontar bom. Bantaqiah dan
puteranya syahid. Dengan membabi-buta, aparat murid dari Jenderal Suharto ini mengalihkan
tembakan ke arah kumpulan santri. Lima puluh enam santri langsung syahid bertumbangan.
Tanah Aceh kembali disiram darah para syuhadanya. Santri yang terluka dinaikkan ke truk
dengan alasan akan diberi pengobatan dan yang masih hidup diminta berbaris lalu naik ke truk
yang sama. Truk ini bergerak menuju Takengon, Aceh Tengah, yang berada di tengah rimba.
Di tengah perjalanan menuju Takengon, para santri diturunkan di Kilometer Tujuh. Mereka
diperintahkan berjongkok di tepi jurang. Tiba-tiba salah seorang santri langsung terjun ke jurang
dan menghilang dalam rimbunan hutan lebat di bawah sana. Para tentara mengguyur jurang itu
dengan tembakan. Nasib para santri yang tersisa tak diketahui sampai kini. Kuat dugaan, para
santri ini dibantai aparat Suharto dan dibuang ke jurang.
Sore hari, tentara memerintahkan warga setempat untuk menguburkan jasad yang ada. Para
perempuan digiring menuju mushola yang ada di seberang sungai dan dilarang melihat prosesi
penguburan. Aparat bersenjata ini kemudian mengamuk di pesantren. Mereka merusak dan
menghancurkan semua yang ada, mereka membakar kitab-kitab agama termasuk kitab suci al-
Quran dan surat Yasin yang ada di pesantren. Setelah puas membakar ayat-ayat Allah, aparat
Sumber dari http://www.eramuslim.com – Januari 2009
bersenjata didikan Suharto ini, kemudian kembali ke barak dengan sejumlah truk, meninggalkan
warga yang tersisa yang hanya bisa menangis dan berdoa.
Setelah tragedi tersebut, warga Beutong Ateuh hanya bisa pasrah berdiam diri. Dengan segenap
daya dan upaya, para santri yang tersisa—kebanyakan perempuan tua dan anak-anak kecil—
membangun kembali pesantren tersebut dan meneruskan pendidikan dengan segala keterbatasan.
Sampai kini, pesantren ini belum memiliki cukup dana untuk mengganti seluruh al-Quran, kitabkitab
kuning, dan surat-surat Yassin yang dibakar aparat. Juga barang-barang lain seperti seluruh
pakaian, kartu tanda pengenal, dan sebagainya yang musnah terbakar. Sampai detik ini, tidak ada
seorang pun pelaku pembantaian terhadap Tengku Bantaqiah dan santri Beutong Ateuh yang
diseret ke pengadilan. Tidak ada satu pun komandan tentara yang dimintai pertanggungjawaban
atas ulahnya membakar kitab suci Al-Qur'an dan surat Yassin, sampai hari ini. Para pelakunya
masih bebas berkeliaran. Mungkin tengah menanti hukum Allah SWT atas ulah mereka. Sama
seperti guru mereka: Jenderal Suharto.
Tragedi Beutong Ateuh hanyalah satu di antara jutaan tragedi kekejaman rezim Suharto terhadap
Muslim Aceh. Anehnya, sampai detik ini tidak ada satu pun pejabat pemerintah, sipil maupun
militer, yang terlibat kejahatan HAM sangat berat atas Muslim Aceh yang diseret ke pengadilan.
Mereka masih bebas berkeliaran dan bahkan banyak yang masih bisa hidup mewah dengan
menikmati kekayaan hasil jarahan atas kekayaan bumi Aceh. Dalam tulisan berikutnya akan
dipaparkan kejahatan-kejahatan HAM Suharto lainnya terhadap umat Islam, seperti Tragedi
Tanjung Priok, Lampung, dan lainnya.
Pada awal 1980-an, rezim Suharto
menghendaki agar Pancasila dijadikan
satu-satunya asas bagi seluruh partai
politik dan organisasi kemasyarakatan
yang ada di Indonesia. MPR akhirnya
mengukuhkan Pancasila sebagai asas
tunggal (astung) di Indonesia lewat
Tap MPR No.11/1983 yang
dituangkan dalam UU No.3/1985
tentang Partai Politik dan Golongan
Karya serta UU No.8/1985 tentang
Organisasi Kemasyarakatan.
Penetapan Pancasila sebagai astung
menuai badai kontroversi di tengah
masyarakat, terutama bagi umat Islam karena hal tersebut telah nyata-nyata mengganggu akidah
umat Islam. Walau ada elemen umat Islam yang mau tunduk pada keinginan rezim fasis ini,
namun di berbagai tempat aksi unjuk rasa menentang ditetapkannya Pancasila sebagai astung
meledak di mana-mana. Para ulama dan dai yang iman dan akidahnya masih lurus dan bersih,
dengan tegas mengatakan jika astung bertentangan dengan akidah Islam, sebab itu wajib
hukumnya menolak.
Apalagi langkah-langkah Jenderal Suharto ini lama-kelamaan mirip dengan apa yang dilakukan
para pemimpin komunis di negaranya. Jika negara komunisme memiliki partai negara yang
Sumber dari http://www.eramuslim.com – Januari 2009
bertindak sebagai buldoser suara rakyat, maka Golongan Karya di masa Suharto pun demikian.
Jika negara komunisme mengkultuskan pemimpinnya dan siapa pun yang berseberangan
dengannya dihabisi, demikian pula dengan yang dilakukan Suharto.
Bukan itu saja, di mulut penguasa fasis ini, Indonesia katanya berlandaskan Pancasila dan UUD
1945, namun kenyataannya rakyat kian banyak yang hidup melarat, umat Islam dipaksa ikut
program KB, di bidang ekonomi pengusaha sipit diberi keistimewaan bahkan dengan mematikan
pengusaha-pengusaha pribumi sekali pun, KKN di sekitar Suharto gila-gilaan, penembakan
misterius yang direstui Suharto pun tengah meraja-lela, dan sebagainya. Apalagi saat itu Jenderal
Leonardus Benny Moerdhani yang dikenal sebagai jenderal islamophobia sedang jadi anak emas
Suharto, umat Islam terus-menerus ditindas.
Salah satu wilayah yang paling berani menyuarakan kebenaran, menentang sikap represif rezim
ini adalah Tanjung Priok di Jakarta Utara. Para ulama dan dai setempat berkotbah dan
menyerukan agar umat Islam agar berani untuk kembali ke akidah Islam yang sebenarnya, dan
menentang thagut, dan melawan segala bentuk kesewenang-wenangan, seperti halnya Musa a.s.
menentang dan melawan kediktatoran Firaun.
Dalam situasi panas seperti inilah, pada Senin, 10 September 1984, Sersan Hermanu yang non-
Muslim, Babinsa setempat, tiba-tiba menyiram air got ke dinding Mushola Asy-Syahadah di
Gang IV Priok. Hermanu juga masuk mushola tanpa melepas sepatu larsnya dan meninginjakinjak
semua yang ada termsuk menginjak-injak Al-Qur'an. Di saat Suharto berkuasa, menginjakinjak
Al-Qur'an, bahkan membakarnya sekali pun, adalah hal yang biasa.
Atas kelakuan Hermanu, warga marah. Diseretlah motornya dan dibakar. Babinsa itu kabur. Tak
lama kemudian, empat pengurus mushola diciduk aparat. Saat itu tersiar kabar jika penembak
misteriusnya Benny Moerdhany akan menghabisi para mubaligh. Ini kian memanaskan situasi.
Ba'da Maghrib, Rabu, 12 September 1984, usai hujan, digelar tabligh akbar di Jalan Sindang
guna menuntut Kodim membebaskan empat pengurus mushola yang ditahan. Amir Biki berpesan
pada Yayan Hendrayana, salah seorang mubaligh, "Jangan takut-takut ngomong." Akhirnya
Yayan yang mendapat kesempatan keempat berteriak lantang, "Man Anshoru ilallah!?" Siapa
yang sanggup membela agama Allah!? Dijawab para jamaah, "Nahnu anshorullah!" Kami
sanggup!
Jamaah berjubel malam itu memenuhi lorong-lorong dan jalan di Priok. Tak kurang dari delapan
puluh buah speaker dipasang. Puluhan ribu warga Priok memadati jalan. Banyak di antaranya
ibu-ibu dan gadis-gadis berjilbab, sesuatu pemandangan yang masih asing di tahun itu. Entah
mengapa, malam itu Yayan Hendrayana memiliki firasat jika nanti sesuatu akan terjadi. Sebab
itu dia memerintahkan agar para perempuan dan anak-anak segera menyisih dari jamaah dan
segera masuk rumah terdekat jika terjadi apa-apa.
"…Sebab nanti tentaranya Benny akan membantai saudara-saudara sekalian!" ujar Yayan saat
bercerita pada penulis di tahun 1998. "Padahal saya tidak tahu bila nanti benar-benar terjadi
pembantaian. Saya ngomong begitu saja," tambahnya.
Sumber dari http://www.eramuslim.com – Januari 2009
Usai Yayan, Syarifin Maloko naik podium. Lalu Amir Biki. Tokoh Priok ini berkata lantang,
"Saudara-saudara, para ikhwan hamba Allah. Ternyata hingga kini tidak ada jawaban dari
Kodim. Ini berarti kita harus konsekuen dengan janji kita. Kepada saudara-saudara, saya titip
keluarga saya. Andai saya terbunuh malam ini, tolong mayat saya diarak le seluruh Jakarta!
Jarum jam sudah menunjuk angka sebelas. Puluhan ribu jamaah Priok segera bergerak mendekati
Kodim agar mau memberikan jawaban. Namun tiba-tiba, terdengar rentetan tembakan. Jamaah
yang berada di barisan depan bertumbangan di aspal. Genangan air hujan yang masih tersisa di
aspal seketika berubah warna menjadi merah. Situasi kacau. Tentara masih melepaskan rentetan
tembakan dengan laras senjata lurus menghadap jamaah. Ratusan jamaah Priok meregang
nyawa. Setelah jalanan sepi, ratusan mayat yang bergelimpangan di jalan segera diangkut truk
tentara, entah dibawa kemana. Mobil pemadam kebakaran mondar-mandir menyemprotkan air
ke aspal untuk menghilangkan genangan darah yang ada di sana-sini. Aparat berjaga di semua
tempat strategis dengan senjata siap tembak.
Pembantaian ratusan jamaah pengajian Priok oleh tentaranya rezim Suharto ini menimbulkan
kemarahan umat Islam di Indonesia. Untuk meredakannya, Benny Moerdhani menggandeng
Abdurrahman Wahid keliling pesantren di Jawa. Sedang Pangdam Jaya Try Sutrisno
mengamankan ibukota dari ekses tragedi besar tersebut. Tidak ada media massa yang berani
memuat tragedi tersebut dengan sebenarnya.
Sejumlah tokoh Priok yang berhasil lolos dikejar dan ditangkap. Para ustadz dan aktivis Islam
memenuhi penjara. Siksaan bathin dan fisik mereka alami. Ba'da Priok, aktivitas dakwah Islam
benar-benar ditindas. Sedang pemurtadan meraja-lela. Inilah salah satu bentuk kekejaman rezim
Suharto terhadap dakwah Islam. Sampai detik ini penegakan hukum atas Tragedi Priok masih
belum tuntas. Misteri gelap masih menyelubunginya.(bersambung/rd)
Siapa Sebenarnya Suharto?
Bulan November 41 tahun lalu,
Jenderal Suharto yang telah sukses
mengkudeta Bung Karno, mengirim
satu tim ekonomi yang terdiri dari
Prof. Sadli, Prof. Soemitro
Djoyohadikusumoh, dan sejumlah
profesor ekonomi lulusan Berkeley
University AS—sebab itu tim ekonomi
ini juga disebut sebagai 'Berkeley
Mafia'—ke Swiss. Mereka hendak
menggelar pertemuan dengan sejumlah
konglomerat Yahudi dunia yang
dipimpin Rockefeller.
Di Swiss, sebagaimana bisa dilihat dari
film dokumenter karya John Pilger
berjudul "The New Ruler of the World' yang bisa didownload di situs youtube, tim ekonomi
suruhan Jenderal Suharto ini menggadaikan seluruh kekayaan alam negeri ini ke hadapan
Rockefeler cs. Dengan seenak perutnya, mereka mengkavling-kavling bumi Nusantara dan
memberikannya kepada pengusaha-pengusaha Yahudi tersebut. Gunung emas di Papua
diserahkan kepada Freeport, ladang minyak di Aceh kepada Exxon, dan sebagainya. Undang-
Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) tahun 1967 pun dirancang di Swiss, menuruti
kehendak para pengusaha Yahudi tersebut.
Sampai detik ini, saat Suharto sudah menemui ajal dan dikuburkan di kompleks pemakaman
keluarga di dekat Imogiri, di sebuah daratan dengan ketinggian 666 meter di atas permukaan laut
(!?), perampokan atas seluruh kekayaan alam negeri ini masih saja terus berjalan dan dikerjakan
dengan sangat leluasa oleh berbagai korporasi Yahudi Dunia. Hasilnya bisa kita lihat di manamana:
angka kemiskinan di negeri ini kian membengkak, kian banyak anak putus sekolah, kian
banyak anak-anak kecil berkeliaran di jalan-jalan raya, kian banyak orangtua putus asa dan
bunuh diri, kian banyak orang gila berkeliaran di kampung-kampung, kian banyak kriminalitas,
kian banyak kasus-kasus korupsi, dan sederet lagi fakta-fakta tak terbantahkan jika negeri ini
tengah meluncur ke jurang kehancuran. Suharto adalah dalang dari semua ini.
Tapi siapa sangka, walau sudah banyak sekali buku-buku ilmiah yang ditulis para cendekia dari
dalam dan luar negeri tentang betapa bobroknya kinerja pemerintahan di saat Jenderal Suharto
berkuasa selama lebih kuarng 32 tahun, dengan jutaan fakta dan dokumen yang tak terbantahkan,
namun nama Suharto masih saja dianggap harum oleh sejumlah kalangan. Bahkan ada yang
begitu konyol mengusulkan agar sosok yang oleh Bung Karno ini disebut sebagai Jenderal Keras
Kepala (Belanda: Koepeg) diberi penghargaan sebagai pahlawan nasional dan diberi gelar guru
bangsa. Walau menggelikan, namun hal tersebut adalah fakta.
Sebab itu, tulisan ini berusaha memaparkan apa adanya tentang Jenderal Suharto. Agar
setidaknya, mereka yang menganggap Suharto layak diberi gelar guru bangsa atau pun pahlawan
Sumber dari http://www.eramuslim.com – Januari 2009
nasional, harus bisa bermuhasabah dan melakukan renungan yang lebih dalam, sudah benarkah
tindakan tersebut.
Fakta sejarah harus ditegakkan, bersalah atau tidak seorang Suharto harus diputuskan lewat jalan
hukum yakni lewat jalur pengadilan. Adalah sangat gegabah menyerukan rakyat ini agar
memaafkan dosa-dosa seorang Suharto sebelum kita semua tahu apa saja dosa-dosa Suharto
karena dia memang belum pernah diseret ke muka pengadilan.
Tulisan ini akan berupaya memotret perjalanan seorang Suharto, sebelum dan sesudah menjadi
presiden. Agar tidak ada lagi pemikiran yang berkata, "Biar Suharto punya salah, tapi dia tetap
punya andil besar membangun negara ini. Hasil kerja dan pembangunannya bisa kita rasakan
bersama saat ini. Lihat, banyak gedung-gedung megah berdiri di Jakarta, jalan-jalan protokol
yang besar dan mulus, jalan tol yang kuat, Taman Mini Indonesia Indah yang murah meriah, dan
sebagainya. Jelas, bagaimana pun, Suharto berjasa besar dalam membangun negara ini!"
Atau tidak ada lagi orang yang berkata, "Zaman Suharto lebih enak ketimbang sekarang, harga
barang-barang bisa murah, tidak seperti sekarang yang serba mahal. Akan lebih baik kalau kita
kembali ke masa Suharto…" Hanya orang-orang Suhartoislah, yang mendapat bagian dari pesta
uang panas di zaman Orde Baru dan mungkin juga sekarang, yang berani mengucapkan itu.
Atau kalau tidak, ya bisa jadi, mereka orang-orang yang belum tercerahkan.
Suharto lahir di Kemusuk, Argomulyo,
Yogyakarta, 8 Juni 1921, dari keluarga
petani yang menganut kejawen.
Keyakinan keluarganya ini kelak terus
dipeliharanya hingga hari tua. Karirnya
diawali sebagai karyawan di sebuah
bank pedesaan, walau tidak lama.
Dia sempat juga menjadi buruh dan
kemudian menempuh karir militer
pertama kali sebagai prajurit KNIL
yang berada di bawah kesatuan tentara
penjajah Belanda. Saat Jepang masuk
di tahun 1942, Suharto bergabung
dengan PETA. Ketika Soekarno memproklamirkan kemerdekaan, Soeharto bergabung dengan
TKR.
Salah satu 'prestasi' kemiliteran Suharto yang sering digembar-gemborkannya semasa dia
berkuasa adalah Serangan Umum 1 Maret 1949 atas Yogyakarta. Bahkan 'prestasi' ini sengaja
difilmkan dengan judul 'Janur Kuning' (1979) yang memperlihatkan jika serangan umum itu
diprakarsai dan dipimpin langsung oleh Letkol Suharto. Padahal, sesungguhnya serangan umum
itu diprakarsai Sultan Hamengkubuwono IX. Hamengkubuwono IX lah yang memimpin
serangan umum melawan Belanda. Hamengkubuwono IX adalah seorang nasionalis yang
memiliki perhatian terhadap nasib rakyatnya, karena itu ia tidak mau untuk di jajah. (lihat
biografi Sultan Hamengkubuwono IX).
Sumber dari http://www.eramuslim.com – Januari 2009
Pada 1959, Suharto yang kala itu menjabat sebagai Pangdam Diponegoro dipecat oleh Nasution
dengan tidak hormat karena Suharto telah menggunakan institusi militernya untuk
mengumpulkan uang dari perusahaan-perusahaan di Jawa Tengah. Suharto kala itu juga ketahuan
ikut kegiatan ilegal berupa penyelundupan gula dan kapuk bersama Bob Hasan dan Liem Sioe
Liong.
Untuk memperlancar penyelundupan ini, didirikan perusahaan perkapalan yang dikendalikan
Bob Hasan. Konon, dalam menjalankan bisnis haramnya ini, Bob menggunakan kapal-kapal
'Indonesian Overseas' milik C.M. Chow. Siapa C.M. Chow ini? Dia adalah agen ganda. Pada
1950 dia menjadi agen rahasia militer Jepang di Shanghai. Tapi dia pun kepanjangan tangan Mao
Tse Tung, dalam merekrut Cina perantauan dari orang Jepang ke dalam jaringan komunis Asia.
Pada 1943, Chow ditugasi Jepang ke Jakarta. Ketika Jepang hengkang dari Indonesia, Chow
tetap di Jakarta dan membuka usaha perkapalan pertama di negeri ini. Chow bukan saja
membina WNI Cina di Jawa Tengah dan Timur, namun juga di Sumatera dan Sulawesi. Salah
satu binaannya adalah ayah Eddy Tansil dan Hendra Rahardja yang bermarga Tan. Tan
merupakan sleeping agent Mao di Indonesia Timur. Pada pertengahan 1980-an, Hendra Rahardja
dan Liem Sioe Liong mendirikan sejumlah pabrik di Fujian, Cina (Siapa Sebenarnya Suharto;
Eros Djarot; 2006).
Nasution kala itu sangat marah sehingga ingin memecat Suharto dari AD dan menyeretnya ke
Mahkamah Militer, namun atas desakan Gatot Subroto, Suharto dibebaskan dan akhirnya dikirim
ke SSKAD (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat). Selain Nasution, Yani juga marah atas
ulah Suharto dan di kemudian hari mencoret nama Suharto dari daftar peserta pelatihan di
SSKAD, yang mana hal ini membuat Suharto dendam sekali terhadap Yani. Terlebih Amad
Yani adalah anak kesayangan Bung Karno.
Kolonel Pranoto Rekso Samoedro diangkat sebagai Pangdam Diponegoro menggantikan
Suharto. Pranoto, sang perwira 'santri', menarik kembali semua fasilitas milik Kodam
Diponegoro yang dipinjamkan Suharto kepada para pengusaha Cina untuk kepentingan
pribadinya. Suharto sangat sakit hati dan dendam terhadap Pranoto, juga terhadap Nasution dan
Yani.
Di SSKAD, Suharto dicalonkan untuk menjadi Ketua Senat. Namun DI. Panjaitan menolak keras
dengan menyatakan dirinya tidak percaya dengan Suharto yang dinilainya tidak bisa dipercaya
karena mempunyai banyak catatan kotor dalam kair militernya, antara lain penyelundupan
bersama para pengusaha Cina dengan dalih untuk membangun kesatuannya, namun yang terjadi
adalah untuk memperkaya dirinya.
Atas kejadian itu Suharto sangat marah. Bertambah lagi dendam Suharto, selain kepada
Nasution, Yani, Pranoto, kini Panjaitan. Aneh tapi nyata, dalam peristiwa 1 Oktober 1965,
musuh-musuh Suharto—Nasution, Yani, dan Panjaitan—menjadi target pembunuhan, sedangkan
Suharto sendiri yang merupakan orang kedua di AD tidak masuk dalam daftar kematian.
Dan ketika Yani terbunuh, Bung Karno mengangkat Pranoto Rekso Samudro sebagai Kepala
Staf AD, namun Pranoto dijegal oleh Suharto sehingga Suhartolah yang mengambil-alih
Sumber dari http://www.eramuslim.com – Januari 2009
kepemimpinan AD, sehingga untuk menghindari pertumpahan darah dan perangsaudara—karena
Siliwangi di Jawa Barat (Ibrahim Adjie) dan KKO (Marinir) di Jawa Timur telah bersumpah
untuk berada di belakang Soekarno dan jika Soekarno memerintahkan untuk 'menyapu'
kekuatan Suharto di Jakarta, maka mereka menyatakan siap untuk berperang—maka Soekarno
melantik Suharto sebagai Panglima AD pada 14 Oktober 1965. (bersambung/rz) .
Pasca Perang Dunia II, AS melihat
Rusia sebagai satu-satunya pihak yang
bisa menghalangi hegemoninya atas
dunia. Diluncurkanlah Marshall Plan
sebagai upaya membendung pengaruh
komunisme yang kian lama kian
meluas, dari Eropa Timur ke arah Asia
selatan, sebuah wilayah yang sangat
strategis dari sisi perdagangan dunia
dan geopolitik, juga sangat kaya
dengan sumber daya alam dan juga
manusianya. AS sangat cemas jika
wilayah tersebut dikuasai Soviet. Dari
semua negeri di wilayah itu,
Indonesia-lah negara yang paling strategis dan paling kaya. AS sangat paham akan hal ini, sebab
itu di wilayah ini Indonesia merupakan satu-satunya wilayah yang disebut dalam Marshall Plan.
Namun untuk menundukkan Indonesia, AS jelas kesulitan karena negeri ini tengah dipimpin oleh
seorang yang sukar diatur, cerdas, dan licin. Dialah Bung Karno. Tiada jalan lain, orang ini harus
ditumbangkan, dengan berbagai cara. Sejarah telah mencatat dengan baik bagaimana CIA ikut
terlibat langsung berbagai pemberontakan terhadap kekuasaan Bung Karno. CIA juga membina
kader-kadernya di bidang pendidikan (yang nantinya melahirkan Mafia Berkeley), mendekati
dan menunggangi partai politik demi kepentingannya (antara lain lewat PSI), membina sel
binaannya di ketentaraan (local army friend) dan sebagainya. Setelah berkali-kali gagal
mendongkel Bung Karno dan bahkan sampai hendak membunuhnya, akhirnya pada paruh akhir
1965, Bung Karno berhasil disingkirkan.
Setelah peristiwa 1 Oktober 1965, secara de facto, Jenderal Suharto mengendalikan negeri ini.
Pekan ketiga sampai dengan awal 1966, Jenderal Suharto menugaskan para kaki tangannya
membantai mungkin jumlahnya mencapai jutaan orang. Mereka yang dibunuh adalah orangorang
yag dituduh kader atau simpatisan komunis (PKI), tanpa melewati proses pengadilan yang
fair. Media internasional bungkam terhadap kejahatan kemanusiaan yang melebihi kejahatan
rezim Polpot di Kamboja ini, karena memang AS sangat diuntungkan.
Jatuhnya Bung Karno dan naiknya Jenderal Suharto dirayakan dengan penuh suka cita oleh
Washington. Bahkan Presiden Nixon menyebutnya sebagai "Hadiah terbesar dari Asia
Tenggara". Satu negeri dengan wilayah yang sangat strategis, kaya raya dengan sumber daya
alam, segenap bahan tambang, dan sebagainya ini telah berhasil dikuasai dan dalam waktu
singkat akan dijadikan 'sapi perahan' bagi kejayaan imperialisme Barat.
Sumber dari http://www.eramuslim.com – Januari 2009
Benar saja, Nopember 1967, Jenderal Suharto menugaskan satu tim ekonom pro-AS menemui
para 'bos' Yahudi Internasional di Swiss. Disertasi Doktoral Brad Sampson, dari Northwestern
University AS menelusuri fakta sejarah Indonesia di awal Orde Baru. Prof. Jeffrey Winters
diangkat sebagai promotornya. Indonesianis asal Australia, John Pilger dalam The New Rulers of
The World, mengutip Sampson dan menulis:
"Dalam bulan November 1967, menyusul tertangkapnya 'hadiah terbesar' (istilah pemerintah
AS untuk Indonesia setelah Bung Karno jatuh dan digantikan oleh Soeharto), maka hasil
tangkapannya itu dibagi-bagi. The Time Life Corporation mensponsori konferensi istimewa di
Jenewa, Swiss, yang dalam waktu tiga hari membahas strategi pengambil-alihan Indonesia.
Para pesertanya terdiri dari seluruh kapitalis yang paling berpengaruh di dunia, orang-orang
seperti David Rockefeller. Semua raksasa korporasi Barat diwakili perusahaan-perusahaan
minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British
American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper
Corporation, US Steel, ICI, Leman Brothers, Asian Development Bank, Chase Manhattan, dan
sebagainya."
Di seberang meja, duduk orang-orang Soeharto yang oleh Rockefeller dan pengusahapengusaha
Yahudi lainnya disebut sebagai 'ekonom-ekonom Indonesia yang korup'.
"Di Jenewa, Tim Indonesia terkenal dengan sebutan 'The Berkeley Mafia' karena beberapa di
antaranya pernah menikmati beasiswa dari pemerintah Amerika Serikat untuk belajar di
Universitas California di Berkeley. Mereka datang sebagai peminta-minta yang menyuarakan
hal-hal yang diinginkan oleh para majikannya yang hadir. Menyodorkan butir-butir yang dijual
dari negara dan bangsanya. Tim Ekonomi Indonesia menawarkan: tenaga buruh yang banyak
dan murah, cadangan dan sumber daya alam yang melimpah, dan pasar yang besar."
Masih dalam kutipan John Pilger, "Pada hari kedua, ekonomi Indonesia telah dibagi sektor demi
sektor." Prof. Jeffrey Winters menyebutnya, "Ini dilakukan dengan cara yang amat
spektakuler."
"Mereka membaginya dalam lima seksi: pertambangan di satu kamar, jasa-jasa di kamar lain,
industri ringan di kamar satunya, perbankan dan keuangan di kamar yang lain lagi; yang
dilakukan oleh Chase Manhattan duduk dengan sebuah delegasi yang mendiktekan kebijakankebijakan
yang dapat diterima oleh mereka dan para investor lainnya. Kita saksikan para
pemimpin korporasi besar ini berkeliling dari satu meja ke meja lainnya, mengatakan, 'Ini yang
kami inginkan, itu yang kami inginkan, ini, ini, dan ini.' Dan mereka pada dasarnya merancang
infrastruktur hukum untuk berinvestasi. Tentunya produk hukum yang sangat menguntungkan
mereka. Saya tidak pernah mendengar situasi seperti itu sebelumnya, di mana modal global
duduk dengan wakil dari negara yang diasumsikan sebagai negara berdaulat dan merancang
persyaratan buat masuknya investasi mereka ke dalam negaranya sendiri."
Freeport mendapatkan gunung tembaga di Papua Barat (Henry Kissinger, pengusaha Yahudi
AS, duduk dalam Dewan Komisaris). Sebuah konsorsium Eropa mendapatkan Nikel di Papua
Barat. Sang raksasa Alcoa mendapatkan bagian terbesar dari bauksit Indonesia. Sekelompok
Sumber dari http://www.eramuslim.com – Januari 2009
perusahaan Amerika, Jepang, dan Perancis mendapatkan hutan-hutan tropis di Kalimantan,
Sumatera, dan Papua Barat.
Sebuah undang-undang tentang penanaman modal asing yang dengan terburu-buru disodorkan
kepada Presiden Soeharto membuat perampokan negara yang direstui pemerintah itu bebas pajak
untuk lima tahun lamanya. Oleh Suharto, rakyat dijejali dengan propaganda pembangunan,
Pancasila, dan trickle down effect terhadap peningkatan kesejahteraannya, tapi fakta yang terjadi
di lapangan sesungguhnya adalah proses pemiskinan bangsa secara sistematis yang dilakukan
rezim Suharto.
Pada 12 Maret 1967, Jenderal Soeharto
dilantik sebagai Presiden RI ke-2. Tiga
bulan kemudian, dia membentuk Tim
Ahli Ekonomi Kepresidenan yang
terdiri dari Prof Dr. Widjojo Nitisastro,
Prof. Dr. Ali Wardhana, Prof Dr. Moh.
Sadli, Prof Dr. Soemitro
Djojohadikusumo, Prof Dr. Subroto,
Dr. Emil Salim, Drs. Frans Seda, dan
Drs. Radius Prawiro. Seluruhnya pro
kapitalisme.
Nopember 1967, Suharto mengirim
tim ekonomi ini ke Swiss menemui
para CEO Yahudi Internasional. Lahirlah UU PMA 1967 yang sangat menguntungkan imperialis
Barat. Prinsip kemandirian ekonomi Indonesia yang dijaga mati-matian Bung Karno, oleh
Jenderal Suharto dihabisi dengan menjadikan Indonesia sebagai negara yang sangat tergantung
pada Barat sebagai kekuatan kapitalis dunia.
"Indonesia Baru" yang lebih pro-kapitalisme sesungguhnya telah dirancang sejak tahun-tahun
1950-an. David Ransom dalam artikelnya yang populer berjudul "Mafia Berkeley dan
Pembunuhan Massal di Indonesia: Kuda Troya Baru dari Universitas-Universitas AS Masuk ke
Indonesia" (Ramparts, 1970) memaparkan jika AS menggunakan dua strategi untuk
menaklukkan Indonesia, tentu saja dengan menyingkirkan Bung Karno. Pertama, membangun
satu kelompok intelektuil yang berpikiran Barat. Dan kedua, membangun satu sel dalam tubuh
ketentaraan yang siap bekerjasama dengan AS.
Yang pertama didalangi oleh berbagai yayasan beasiswa seperti Ford Foundation dan
Rockeffeler Foundation, juga berbagai universitas ternama AS seperti Berkeley, Harvard,
Cornell, dan juga MIT. David Ransom menulis, dua tokoh Partai Sosialis Indonesia (PSI),
sebuah partai kecil yang berhaluan sosialis-kanan, yakni Soedjatmoko dan Sumitro
Djojohadikusumo menjadi ujung tombak pembentukan jaringan intelektuil pro-Barat di
Indonesia. Mereka, demikian Ransom, dibina oleh AS sejak akhir tahun 1949-an.
Sumber dari http://www.eramuslim.com – Januari 2009
Sedang tugas kedua dilimpahkan kepada CIA. Salah satu agennya bernama Guy Pauker yang
bergabung dengan RAND Corporation mendekati sejumlah perwira tinggi lewat salah seorang
yang dikatakan berhasil direkrut CIA, yakni Deputi Dan Seskoad Kol. Soewarto. Dan Intel
Achmad Soekendro juga dikenal dekat dengan CIA. Lewat orang inilah, demikian Ransom,
komplotan AS, mendekati militer. Suharto adalah murid dari Soewarto di Seskoad.
Di Seskoad inilah para intelektuil binaan AS diberi kesempatan mengajar para perwira.
Terbentuklah jalinan kerjasama antara sipil-militer yang pro-AS. Paska tragedi 1965 dan
pembantaian rakyat Indonesia, yang dituduh komunis, dan kelompok ini mulai membangun
'Indonesia Baru'. Para doktor ekonomi yang mendapat binaan dari Ford kembali ke Indonesia
dan segera bergabung dengan kelompok ini, di antara Emil Salim.
Jenderal Suharto membentuk Trium-Virat (pemerintahan bersama tiga kaki) dengan Adam Malik
dan Sultan Hamengkubuwono IX. Ransom menulis, "Pada 12 April 1967, Sultan mengumumkan
satu pernyataan politik yang amat penting yakni garis besar program ekonomi rejim baru itu
yang menegaskan mereka akan membawa Indonesia kembali ke pangkuan Imperialis.
Kebijakan tersebut ditulis oleh Widjojo dan Sadli."
Ransom melanjutkan, "Dalam merinci lebih lanjut program ekonomi yang baru saja di gariskan
Sultan, para teknokrat dibimbing oleh AS. Saat Widjojo kebingungan menyusun program
stabilisasi ekonomi, AID mendatangkan David Cole, ekonom Harvard yang baru saja membuat
regulasi perbankan di Korea Selatan untuk membantu Widjojo. Sadli juga sama, meski sudah
doktor, tapi masih memerlukan "bimbingan". Menurut seorang pegawai Kedubes AS, "Sadli
benar-benar tidak tahu bagaimana seharusnya membuat suatu regulasi Penanaman Modal Asing.
Dia harus mendapatkan banyak dari Kedutaan Besar Amerika Serikat.
Ini merupakan tahap awal dari program Rancangan Pembangunan Lima Tahunan (Repelita)
Suharto, yang disusun oleh para ekonom Indonesia didikan AS, yang masih secara langsung
dimbing oleh para ekonom AS sendiri dengan kerjasama dari berbagai yayasan yang ada.
Juni 1968, Jenderal Suharto secara diam-diam dan mendadak mengadakan reuni dengan orangorang
binaan Ford, yang dikenal sebagai "Mafia Berkeley" (untuk merancangkan susunan
Kabinet Pembangunan dan badan-badan penting tingkat tinggi lainnya): sebagai Menteri
Perdagangan ditunjuk Dekan FEUI Sumitro Djojohadikusumo (Doctor of Philosophy dari
Rotterdam), Ketua BPPN ditunjuk Widjojo Nitisastro (Doctor of Philosophy Berkeley, 1961),
Wakil Ketua BPN ditunjuk Emil Salim (Doctor of Philosophy, Berkeley, 1964 ), Dirjen
Pemasaran dan Perdagangan ditunjuk Subroto (Doctor of Philosophy dari Harvard, 1964),
Menteri Keuangan ditunjuk Ali Wardhana (Doctor of Philosophy, Berkeley, 1962), Ketua Team
PMA Moh. Sadli (Master of Science, MIT, 1956), Sekjen Departemen Perindustrian ditunjuk
Barli Halim (MBA Berkeley, 1959), sedang Sudjatmoko, penasehat Adam Malik, diangkat jadi
Duta Besar di Washington, posisi kunci poros Jakarta-Washington.
Tim ekonomi "Indonesia Baru" ini bekeja dengan arahan langsung dari Tim Studi Pembangunan
Harvard (Development Advisory Service, DAS) yang dibiayai Ford Foundation. "Kita bekerja di
belakang layar," aku Wakil Direktur DAS Lister Gordon. AS segera memback-up penguasa baru
Sumber dari http://www.eramuslim.com – Januari 2009
ini dengan segenap daya sehingga stabilitas ekonomi Indonesia yang sengaja dirusak oleh AS
pada masa sebelum 1965 bisa sedikit demi sedikit dipulihkan.
Mereka inilah yang berada dibelakang Repelita yang mulai dijalankan pada awal 1969, dengan
mengutamakan penanaman modal asing dan swasembada hasil pertanian. Dalam banyak kasus,
pejabat birokrasi pusat mengandalkan pejabat militer di daerah-daerah untuk mengawasi
kelancaran program Ford ini.
Mereka bekerjasama dengan para tokoh daerah yang terdiri dari para tuan tanah dan pejabat
administratif. Terbentuklah kelompok baru di daerah-daerah yang bekerja untuk memperkaya
diri dan keluarganya. Mereka, kelompok pusat dan kelompok daerah, bersimbiosis-mutualisme.
Mereka juga menindas para petani yang bekerja di lapangan.
Benih Orde Baru tumbuh di atas
genangan darah dan tetesan air mata
rakyatnya. Arah pembangunan
(Repelita) didesain sesuai dengan
keinginan Washington dengan
mengutamakan eksploitasi segenap
kekayaan alam bumi Indonesia yang
dikeruk habis-habisan dan diangkut ke
luar guna memperkaya negeri-negeri
Barat.
Inti pergantian kekuasaan dari Bung
Karno ke Jenderal Besar Suharto
adalah berubahnya prinsip
pembangunan ekonomi Indonesia, dari
kemandirian menjadi ketergantungan.
April 1966 Suharto kembali membawa Indonesia bergabung dengan PBB. Setelah itu, Mei 1966,
Adam Malik mengumumkan jika Indonesia kembali menggandeng IMF. Padahal Bung Karno
pernah mengusir mereka dengan kalimatnya yang terkenal: "Go to hell with your aid!"
Untuk menjaga stabilitas penjarahan kekayaan negeri ini, maka Barat merancang Repelita. Tiga
perempat anggaran Repelita I (1969-1974) berasal dari utang luar negeri. "Jumlahnya
membengkak hingga US$ 877 juta pada akhir periode. Pada 1972, utang asing baru yang
diperoleh sejak tahun 1966 sudah melebihi pengeluaran saat Soekarno berkuasa." (M.C. Ricklefs;
Sejarah Indonesia Modern, 1200-2004; Sept 2007).
Dalam hitungan bulan setelah berkuasa, kecenderungan pemerintahan baru ini untuk
memperkaya diri dan keluarganya kian menggila. Rakyat yang miskin bertambah miskin, sedang
para pejabat walau sering menyuruh rakyat agar hidup sederhana, namun kehidupan mereka
sendiri kian hari kian mewah. Bulan madu antara Suharto dengan para mahasiswa yang dulu
mendukungnya dengan cepat pudar.
Sumber dari http://www.eramuslim.com – Januari 2009
Mahasiswa melihat penguasa baru ini pun tidak beres. Militer dipelihara dan digunakan sebagai
tameng penjaga status-quo. Kekuatan politik rakyat dibabat habis dengan dibonsainya partaipartai
politik hingga hanya ada tiga: Golkar, PPP, dan PDI. "Pada Februari 1970, pemerintah
mengumumkan semua pegawai negeri harus setia kepada pemerintah. Mereka tidak diizinan
bergabung dengan partai politik lain kecuali Golkar," demikian Ricklefs.
Unjuk rasa mahasiswa yang dilakukan di depan Kantor Pangdam Siliwangi dan juga Kantor
Gubernur Jawa Barat, 9 Oktober 1970, dengan keras mengecam kelakuan tentara yang kian hari
kian dianggap repressif. Delapan tuntutan kala itu disampaikan: Kebalkah ABRI terhadap
hukum! Mengapa pakaian seragam diangap lebih mampu? Apakah seragam sama dengan karcis
kereta-api, bioskop, bus, opelet? Kapan ABRI berubah kelakuan? Siapa berani tertibkan ABRI?
Kapan ada jaminan hukum bagi rakyat? Sudah merdekakah kita dari kesewenang-wenangan
hukum?" (Francois Raillon; Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia 1966-1974; Des 1985).
Francis Raillon menulis, "Sepanjang 1972-1973 di sekitar Suharto terjadi rebutan pengaruh
antara 'kelompok Amerika' melawan 'kelompok Jepang'. Yang pertama terdiri dari para menteri
teknokrat dan sejumlah Jenderal, Pangkopkamtib Jend. Soemitro salah satunya. Kelompok
kedua, dipimpin Aspri Presiden, Jend. Ali Moertopo, dan Jend. Soedjono Hoemardhani."
Suharto memang seorang pemimpin yang sangat lihai, dan tentu saja licin bagai belut yang
berenang di dalam genangan oli. Dia memanfaatkan semua orang yang berada di sekelilingnya
guna memperkuat posisinya sendiri. Ketika menumbangkan Bung Karno, Suharto menggalang
kekuatan militer, teknokrat pro-kapitalisme, dan ormas keagamaan, terutama umat Islam, untuk
menghancurkan komunisme. Namun setelah berkuasa, umat Islam ditinggalkan. Suharto malah
merangkul kekuatan salibis faksi Pater Beek SJ dan juga CSIS di mana Ali Moertopo menjadi
sesepuhnya, dan kemudian di era 1980-an akan muncul tokoh sentral Islamophobia, murid Ali
Moertopo, bernama Jenderal Leonardus Benny Moerdhani.
Dengan dukungan penuh terutama dari militer—tentu ada harga yang harus dibayarkan oleh
Suharto, yakni membagi kue KKN kepada para perwiranya—maka kekuatan sipil tidak ada
artinya. Siapa pun yang berseberangan dengannya, maka langsung dicap sebagai Anti Pancasila.
Selama periode 1970-awal 1980-an, tidak ada kekuatan sipil yang berarti yang mampu
menentang Suharto. Bayang-bayang pembunuhan massal yang dilakukan tentaranya Suharto
pada akhir 1965 sampai awal 1966 menciptakan teror tersendiri di dalam benak rakyatnya.
Nations and Character Building yang diperjuangkan para pendiri republik ini dalam sekejap
dihancurkan oleh Suharto, dan digantikan dengan Exploitation de L'homee par L'homee,
eksploitasi yang dilakukan kubu penguasa terhadap rakyat kecil. Patut digaris-bawahi jika
eksploitasi ini terus dilakukan oleh para elit pemerintah dan juga elit parpol sampai hari ini. Tak
aneh jika sekarang ada yang berterus terang jika Suharto adalah gurunya.
Catatan hitam tentang Suharto tidak berhenti sampai disini. Dalam penegakan Hak Asasi
manusia (HAM) misalnya, rezim Orde Baru di tahun 1980-an sangat dikenal di luar negeri
sebagai rezim fasis-militeristis, sebagaimana Jerman di bawah Hitler, Italia di bawah Mussolini,
Kamboja di bawah Polpot, dan Chile di bawah Jenderal Augusto Pinochet. Ini ditegaskan
Indonesianis asal Perancis, Francois Raillon. Bahkan M.C.
Sumber dari http://www.eramuslim.com – Januari 2009
Ricklefs, sejarawan Australia, menyatakan jika penegakan HAM-nya rezim Suharto jauh lebih
buruk ketimbang penguasa jajahan Belanda. "Orde Baru lebih banyak melakukan hukuman itu
ketimbang pemerintah jajahan Belanda. Orde Baru mengizinkan penyiksaan terhadap narapidana
politiknya. Sentralisasi kekuasaan ekonomi, politik, administrasi, dan militer di tangan segelintir
elit dalam pemerintahan Suharto juga lebih besar ketimbang dalam masa pemerintahan Belanda,"
tegas Ricklefs yang bertahun-tahun menelusuri sejarah bangsa ini sejak zaman masuknya Islam.
Dalam tulisan selanjutnya akan dipaparkan satu-persatu "prestasi" rezim Suharto dalam
penegakan hak asasi manusia, terutama yang menyangkut umat Islam, hubungan haramnya
dengan Zionis-Israel, dan banyak lagi yang lainnya.
Catatan atas kejahatan HAM rezim Suharto akan dimulai dari
wilayah paling timur negeri ini, yakni Nanggroe Aceh Darussalam
(NAD). Kejahatan HAM atas Muslim Aceh diawali oleh VOC
Belanda, diteruskan oleh rezim Orde Lama Soekarno, dan ditindas
lebih kejam lagi di masa kekuasaan Suharto. Bahkan di zaman
Jenderal Suharto-lah, NAD yang sangat berjasa dalam merebut dan
mempertahankan kemerdekaan RI—terutama dari segi finansial,
sebab itu NAD juga disebut sebagai 'Lumbung Uang RI'—malah
dijadikan lapangan tembak dengan nama Daerah Operasi Militer
(DOM), 1989-1998.
NAD merupakan daerah yang sangat kaya dengan sumber daya
alamnya, yakni minyak dan gas bumi. Sampai dengan akhir
dasawarsa 1980-an, Aceh telah menyumbang lebih dari 30% total
produksi ekspor migas Indonesia. Pada 1971 di Aceh Utara
ditemukan cadangan gas alam cair (LNG) yang sangat besar. Mobil Oil, perusahaan tambang
AS, diberi hak untuk mengekploitasinya dan dalam enam tahun kemudian kompleks penyulingan
KNG sudah beroperasi di dalam areal yang dinamakan Zona Industri Lhokseumauwe (ZIL). Di
tempat yang sama, berabad lalu, di sinilah Kerajaan Islam pertama Samudera Pase berdiri, dan
kini oleh Suharto diserahkan kekayaan alam negeri ini yang sungguh besar kepada AS.
Sebelumnya, di Aceh Timur, dalam waktu 30 tahun sejak 1961, Asamera, suatu perusahaan
minyak Kanada, telah menggali tak kurang dari 450 sumur minyak. Sumber gas alam yang
ditemukan di sekitar sumur-sumur itu lebih kaya dari persediaan gas alam di Aceh Utara.
Produksi Pabrik Pupuk ASEAN di Aceh hampir 90 persen diekspor, dan dari kompleks
petrokimia diharapkan penjualan kimia aromatik sebesar US$200 juta setahun. Pabrik Kertas
Kraft Aceh juga sudah mulai memproduksi kertas karung semen sejak 1989. Dari penghematan
impor pembungkus semen saja pemerintah sudah memperoleh laba US$89 juta setahun, sedang
ekspor kertas semen menghasilkan US$43 juta. Pada 1983 Aceh menyumbang 11 persen dari
seluruh ekspor Indonesia.
Suharto sangat tahu jika kekayaan alam Aceh sungguh luar biasa. Sebab itu, dengan amat rakus
rezim Orde Baru terus-menerus menguras kekayaan alam ini. Ironisnya, nyaris semua
keuntungan yang diperoleh dari eksploitasi kekayaan alam Aceh ini dibawa kabur ke Jakarta.
Rakyat Aceh tidak mendapatkan apa-apa. Mereka tetap tinggal dalam kemiskinan dan
Sumber dari http://www.eramuslim.com – Januari 2009
kemelaratan. Pemerintah Jakarta bukannya mengembalikan uang Aceh ke rakyat Aceh sebagai
pemilik yang sah, tapi malah mengirim ribuan tentara untuk memerangi rakyat Aceh yang sudah
tidak berdaya.
Dalam dasawarsa 1990-an, dari 27 provinsi di Indonesia, Aceh menempati posisi provinsi ke-7
termiskin di seluruh Indonesia. Lebih dari 40 persen dari 5.643 desa di Aceh telah jatuh ke
bawah garis kemiskinan. Hanya 10 persen pedesaan Aceh menikmati aliran listrik. Di kawasan
ZIL hanya 20% penduduk yang mendapat saluran air bersih. Yang lain mendapat pasok air dari
sumur galian yang sering tercemar oleh limbah zona industri.
Peneliti AS, Tim Kell, dalam laporannya menulis, "Friksi dan perbenturan nilai pun terjadi
antara penduduk asli dan pendatang. Para migran menenggak bir, berdansa-dansi,
melambungkan harga-harga di pasar. Mereka hidup mewah di kolam kemiskinan rakyat Aceh.
Limbah industri mencemari tanah dan masuk ke sumur-sumur penduduk asli. Polusi meluas ke
laut, merusak lahan nelayan. Pengangguran meningkat. Pemiskinan berlanjut. Industrialisasi
gagal merombak struktur perekonomian rakyat Aceh secara fundamental, karena ia memang tak
pernah menjadi bagian dari perekonomian asli rakyat Aceh". Inilah salah satu "hasil"
pembangunan rezim Suharto di Aceh.
Secara obyektif Tim Kell melanjutkan, "Pada tahun-tahun 1940-an para ulama PUSA sudah
kecewa atas tak diterapkannya hukum Islam di seluruh Indonesia. Pada 1950, status Aceh
sebagai provinsi dicabut dan dilebur ke dalam Provinsi Sumatera Utara. Pemerintahan sipil,
pertahanan, dan perekonomian, diambil dari ruang lingkup pengaruh PUSA. Kekecewaan atas
perlakuan semacam ini, dan kecemasan akan kehilangan identitasnya, mengantar Aceh ke
pemberontakan 1953 di bawah pimpinan Daud Beureueh."
Di bawah rezim Suharto, jenderal ini membawa ideologi pembangunan dan stabilitas politik, dan
dengan kacamata kuda yang "sentralistik-Majapahit", Suharto mengangap sama semua orang,
semua daerah, semua suku, semua organisasi, termasuk Aceh. Suharto menganggap semuanya
itu sama saja dengan "Majapahit". Status "istimewa" sebagai negeri Islam Aceh pun dihabisi.
Otonomi Aceh di bidang agama, pendidikan, dan hukum adat, sebagaimana tercantum dalam UU
No.5/1974 tentang Dasar-Dasar Pemerintahan Daerah, pada kenyataannya keistimewaan
Provinsi Aceh hanyalah di atas kertas. Gubernur dipilih hanya dengan persetujuan Suharto,
Bupati hanya bisa menjabat dengan restu Golkar. Pelecehan Aceh terus berlanjut. Aceh bahkan
dianggap tak cukup terhormat untuk menjadi tuan rumah suatu Kodam. Komando Daerah Militer
dipindahkan ke Medan.
Pada 1990, Gubernur Ibrahim Hasan yang notabene direstui Suharto mewajibkan semua murid
sekolah dasar Islam untuk mampu membaca Al-Qur'an. Peraturan ini dikecam oleh para pejabat
di Jakarta. Bahkan Depdikbud mengirim tim untuk menyelidiki "penyelewengan" ini. Beberapa
bulan kemudian pejabat Dikbud kabupaten melonggarkan peraturan yang melarang murid
perempuan memakai jilbab ke sekolah. Kepada murid yang ingin berjilbab diizinkan untuk
menyimpang dari peraturan tersebut. Pemerintah Jakarta bereaksi keras atas pelonggaran ini.
Peraturan nasional harus dipatuhi secara nasional, tanpa kecuali. Dan jilbab diharamkan oleh
rezim Suharto di Aceh.
Sumber dari http://www.eramuslim.com – Januari 2009
Ted Robert Gurr dalam Why Men Rebel telah menulis bahwa orang akan berontak jika way of
life-nya terancam oleh perkembangan baru. Orang Aceh telah kehilangan sumber alamnya, mata
pencariannya, gaya hidupnya. Orang Aceh kehilangan suaminya, anak-anaknya, kehilangan
harapannya, kehilangan segalanya . . . Lalu masih adakah orang yang sangat-sangat bebal yang
masih saja bertanya, "Mengapa rakyat Aceh berontak?" Rakyat Aceh jelas telah dijadikan
tumbal bagi rezim Orde Baru. Telah diperkosa habis-habisan oleh Jakarta. Siapa pun yang punya
hati nurani jelas akan mendukung sikap rakyat Aceh yang menarik kembali kesediaannya
bergabung dengan Republik Indonesia jika hal seperti ini terus dibiarkan. Kesabaran itu ada
batasnya!
Selain menguras habis kekayaan alam
Aceh, rezim Suharto juga melancarkan
genosida atas Muslim Aceh. Yang
terkenal adalah masa DOM atau
Operasi Jaring Merah (1989-1998).
Banyak peneliti DOM sepakat jika
kekejaman rezim ini terhadap Muslim
Aceh bisa disetarakan dengan
kekejaman yang dilakukan Milisi
Serbia terhadap Muslim Bosnia di era
1990-an. Wilayah NAD yang sangat
luas, sekujur tanahnya dijadikan
kuburan massal di sana-sini. Muslim
Aceh yang berabad-abad hidup dalam
izzah Islam, dihinakan oleh rezim fasis
Suharto serendah-rendahnya.
Al-Chaidar, putera Aceh yang menjadi peneliti sejarah tanah kelahirannya, menyatakan, "Jika
Kamboja di bawah rezim Pol Pot dikenal memiliki The Killing Fields atau Ladang pembantaian,
maka di Aceh dikenal pula Bukit Tengkorak. Di Aceh, jumlah ladang pembantaian yang besar
ada 35 titik, ini jauh lebih banyak ketimbang ladang pembantaian yang ada di Kamboja."
Begitu banyak pameran kekejaman dan kebiadaban yang ditimpakan terhadap Muslim Aceh oleh
rezim Suharto, sehingga jika dijadikan buku maka bukan mustahil, riwayat Tragedi Aceh akan
menyamai tebalnya jumlah halaman koleksi perpustakaan Iskandariyah sebelum dibakar habis
pasukan Mongol.
Dari jutaan kasus kejahatan HAM di Aceh, salah satunya adalah tragedi yang menimpa Tengku
Bantaqiah, pemimpin Dayah (Pondok Pesantren) Babul Nurillah di Beutong Ateuh pada 23 Juli
1999. Ironisnya, walau secara resmi DOM sudah dicabut, namun kekejaman dan kebiadaban
yang menimpa Muslim Aceh tidaklah surut. Tragedi yang menimpa Tengku Bantaqiah dan
santrinya merupakan bukti.
Lengsernya Suharto pada Mei 1998 tidak berarti lengsernya sistem dan tabiat kekuasaan represif
ala Orde Baru. Para presiden setelah Suharto seperti Habbie, Abdurrahman Wahid, Megawati,
dan Susilo Bambang Yudhoyono, semuanya pada kenyataannya malah melestarikan sistem Orde
Sumber dari http://www.eramuslim.com – Januari 2009
Baru ini. Salah satu buktinya adalah KKN yang di era reformasi ini bukannya hilang namun
malah tetap abadi dan berkembang penuh inovasi.
Sebab itulah, dicabutnya status DOM di Aceh pada 1998 tidak serta-merta tercerabutnya teror
dan kebiadaban yang selama ini bergentayangan di Aceh. Feri Kusuma, salah seorang aktivis
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Aceh menulis secara khusus tentang
Tragedi Tengku Bantaqiah ini. Dalam artikel berjudul 'Jubah Putih di Beutong Ateuh', Feri
mengawali dengan kalimat, "Beutong Ateuh memiliki sejarah yang cukup panjang. Daerah ini
dibangun sejak masa kolonial Belanda, begitu orang Beutong bersaksi. Kecamatan Beutong
Ateuh terdiri dari empat desa yaitu Blang Meurandeh, Blang Pu'uk, Kuta Teungoh dan Babak
Suak. Kondisi geografisnya cocok untuk bersantai sambil menikmati panorama alam yang
indah. Di daerah yang terletak di antara dua gunung ini mengalir sungai Beutong yang sejuk dan
jernih. Pegunungannya yang mengelilingi Beutong Ateuh termasuk gugusan Bukit Barisan…"
Eramuslim yang pernah mengunjungi hutan belantara ini di tahun 2001, dua tahun setelah
tragedi, menjumpai kondisi yang sangat mengenaskan. Bukan saja di Beutong Ateuh, namun
juga nyaris di seluruh wilayah NAD. Kemiskinan ada di mana-mana, padahal tanah Aceh adalah
tanah yang sangat kaya raya dengan sumber daya alamnya. Jakarta telah menghisap habis
kekayaan Aceh!
Beutong Ateuh terletak di perbatasan Aceh Tengah dan Aceh Barat. Dari Ule Jalan ke Beutong
Ateuh, kita akan melewati pos kompi Batalyon 113/Jaya Sakti yang terletak di areal kebun
kelapa sawit. Di areal kompi ini, tepatnya di gapura, terpasang papan pengumuman berisi
tulisan "TEMPAT LATIHAN PERANG TNI". Sekitar 10 kilometer dari kompi itu terpancang
sebuah petunjuk jalan yang bertuliskan "SIMPANG CAMAT"; tanda menuju ke sebuah
pemukiman. Namun tidak ada sebuah rumah pun di daerah ini. Sejauh mata memandang hanya
tampak rerimbunan pohon besar di atas bukit dan jurang yang menganga. Tak heran jika hutan
Cut Nyak Dien dan pasukannya memilih hutan ini sebagai pertahanan terakhir.
Walau berjarak lebih kurang 15 kilometer dari hutan ini, namun Kecamatan Beutong Ateuh tidak
berbeda dengan hutan Simpang Camat. Di tengah-tengah hutan, kain putih usang terlihat
berkibaran di areal Dayah. Kubah mushola, atap beberapa rumah, dan bilik pengajian yang
berhadapan langsung dengan sungai Beutong terlihat jelas.
Tengku Bantaqiah mendirikan pesantren di desa Blang Meurandeh pada 1982 dan memberinya
nama Babul Al Nurillah. Abu Bantaqiah, begitu para murid memanggilnya, adalah alim ulama
yang disegani dan dihormati. Disini, Dayah Babul Al Nurillah mengajarkan ilmu agama, seni
bela diri, dan juga berkebun dengan menanam berbagai macam sayuran untuk digunakan sendiri.
Kegiatan di Dayah ini tidak berbeda dengan pesantren lainnya di berbagai daerah di Indonesia.
Selain mereka yang menetap di Dayah, ada pula orang-orang yang sengaja datang dan belajar
agama untuk mengisi libur kerja atau sekolah. Jumlahnya lebih banyak daripada santri yang
tinggal di pesantren.
Di Dayah ini, para santrinya kebanyakan adalah mereka yang pernah melakukan tindakantindakan
tak terpuji di masyarakat seperti mabuk-mabukan, mencuri atau kejahatan lain yang
Sumber dari http://www.eramuslim.com – Januari 2009
merugikan dirinya sendiri maupun orang banyak. "Menurut Tengku Bantaqiah, untuk apa
mengajak orang yang sudah ada di dalam masjid, justru mereka yang masih di luar masjidlah
yang harus kita ajak. Itulah dasar dari penerimaan orang-orang seperti mereka tadi menjadi
murid di sini," tulis Feri Kusuma.
Bantaqiah adalah ulama yang teguh pendirian, sederhana, dan tidak goyah dengan godaan dunia.
Baginya, dunia ada di dalam genggamannya, bukan di hatinya. Mungkin sebab itu dia pernah
menolak bergabung sebagai anggota MUI cabang Aceh. Bantaqiah juga tidak bersedia masuk ke
dalam partai politik mana pun. Baginya, Partai Allah sudah lebih dari cukup, tidak untuk yang
lain. Sebab itu, Bantaqiah sering difitnah oleh orang yang berseberangan dengan dirinya. Ia
dituduh mengajarkan kesesatan dan pada 1985 dicap dengan sebutan Gerombolan Jubah Putih.
Pemerintah Aceh berusaha melunakkan sikap Bantaqiah dengan membangunkan sebuah
pesantren untuknya, namun lokasinya di kecamatan Beutong Bawah, jauh dari Babul Al
Nurillah. Ini membuatnya menolak "pesantren sogokan" tersebut. Hal ini membuat hubungan
Bantaqiah dengan Pemerintah setempat kurang harmonis. Dia dituduh sebagai salah satu petinggi
GAM pada 192 dan dijebloskan ke penjara dengan hukuman 20 tahun.
Ketika Habibie menggantikan Suharto
dan menyempatkan diri ke Aceh,
Bantaqiah dibebaskan. Namun hal ini
rupanya tidak berkenan di hati tentara
hasil didikan rezim Suharto.
Di mata tentara, Bantaqiah adalah
sama saja dengan kelompok-kelompok
bersenjata Aceh yang tidak mau
menerima Pancasila. Sebab itu
keberadaannya harus dienyahkan dari
negeri Pancasila ini. Para tentara Suharto itu lupa, berabad-abad sebelum Pancasila lahir,
berabad-abad sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia lahir, Nanggroe Aceh Darussalam
sudah menjadi sebuah negeri merdeka dan berdaulat lengkap dengan Kanun Meukota Alam,
sebuah konstitusi yang sangat lengkap. Bahkan jauh lebih lengkap ketimbang UUD 1945 yang
diamandemen di tahun 2002.
Sebab itu, pada Kamis, 22 Juli 1999, pasukan TNI yang terdiri dari berbagai kesatuan seperti
angkatan darat dan Brimob mendirikan banyak tenda di sekitar pegunungan Beutong Ateuh.
Walau warga setempat curiga, karena pengalaman membuktikan, di mana aparat bersenjata hadir
dalam jumlah banyak, maka pasti darah rakyat tumpah, namun warga tidak bisa berbuat apa-apa.
Firasat warga sipil terbukti. Tiba-tiba di hari itu juga terjadi insiden penembakan terhadap warga
yang tengah mencari udang. Satu luka dan yang satu lagi berhasil menyelamatkan diri masuk
hutan. Teror ini meresahkan warga.
Sedari subuh keesokan harinya, Jumat pagi, 23 Juli 1999, TNI dan Brimob sudah bergerak diamdiam
mendekati pesantren dengan perlengkapan tempur garis pertama, yang berarti senjata api
sudah terisi amunisi siap tembak. Pukul 08.00 tentara dan Bribom sudah berada di seberang
Sumber dari http://www.eramuslim.com – Januari 2009
sungai dekat pesantren. Dengan alasan mencari GAM, pada pukul 09.00 mereka membakar
rumah penduduk yang letaknya hanya 100 meter di timur pesantren. Satu jam kemudian,
pasukan tersebut mulai bergerak ke pesantren. Dengan seragam tempur lengkap dengan senjata
serbu laras panjang, wajah dipulas dengan cat kamuflase berwarna hijau dan hitam, mereka
mengepung pesantren dan berteriak-teriak mencaci-maki Tengku Bantaqiah dan memintanya
segera menemui mereka.
Menjelang waktu sholat Jumat, para santri biasa berkumpul dengan Tengku Bantaqiah guna
mendengar segala nasehat dan ilmu agama. Mendengar teriakan dari tentara yang menyebutnyebut
namanya, Bantaqiah pun datang bersama seorang muridnya. Aparat bersenjata itu tidak
sabaran. Mereka merangsek ke dalam dan memerintahkan semua santri laki-laki untuk
berkumpul di lapangan dengan berjongkok menghadap sungai.
Aparat dengan suara keras dan mengancam meminta agar Bantaqiah menyerahkan senjata
apinya. Tengku Bantaqiah bingung karena memang tidak punya senjata apa pun, kecuali hanya
pacul dan parang yang sehari-hari digunakan untuk berkebun dan membuka hutan. Aparat tidak
percaya dengan semua keterangan Bantaqiah. Sebuah antena radio pemancar yang terpasang di
atap pesantren dijadikan bukti oleh aparat jika selama ini Bantaqiah menjalin komunikasi dengan
GAM. Padahal itu antene radio biasa.
"Komandan pasukan memerintahkan agar antena tersebut dicopot, dengan menyuruh putra
Bantaqiah yang bernama Usman untuk menaiki atap pesantren. Usman langsung berjalan
menuju rumahnya untuk mengambil peralatan, namun sebelum ia mencapai rumah yang jaraknya
hanya tujuh meter dari tempat tentara mengumpulkan para santri, seorang anggota pasukan
memukul Usman dengan popor senapan," tulis Feri Kusuma, aktivis Kontras Aceh, berjudul
"Jubah Putih di Beutong Ateuh".
Melihat anaknya terjatuh, secara refleks Bantaqiah berlari mendekatnya hendak menolong. Tibatiba
tentara memberondongnya dengan senjata yang dilengkapi pelontar bom. Bantaqiah dan
puteranya syahid. Dengan membabi-buta, aparat murid dari Jenderal Suharto ini mengalihkan
tembakan ke arah kumpulan santri. Lima puluh enam santri langsung syahid bertumbangan.
Tanah Aceh kembali disiram darah para syuhadanya. Santri yang terluka dinaikkan ke truk
dengan alasan akan diberi pengobatan dan yang masih hidup diminta berbaris lalu naik ke truk
yang sama. Truk ini bergerak menuju Takengon, Aceh Tengah, yang berada di tengah rimba.
Di tengah perjalanan menuju Takengon, para santri diturunkan di Kilometer Tujuh. Mereka
diperintahkan berjongkok di tepi jurang. Tiba-tiba salah seorang santri langsung terjun ke jurang
dan menghilang dalam rimbunan hutan lebat di bawah sana. Para tentara mengguyur jurang itu
dengan tembakan. Nasib para santri yang tersisa tak diketahui sampai kini. Kuat dugaan, para
santri ini dibantai aparat Suharto dan dibuang ke jurang.
Sore hari, tentara memerintahkan warga setempat untuk menguburkan jasad yang ada. Para
perempuan digiring menuju mushola yang ada di seberang sungai dan dilarang melihat prosesi
penguburan. Aparat bersenjata ini kemudian mengamuk di pesantren. Mereka merusak dan
menghancurkan semua yang ada, mereka membakar kitab-kitab agama termasuk kitab suci al-
Quran dan surat Yasin yang ada di pesantren. Setelah puas membakar ayat-ayat Allah, aparat
Sumber dari http://www.eramuslim.com – Januari 2009
bersenjata didikan Suharto ini, kemudian kembali ke barak dengan sejumlah truk, meninggalkan
warga yang tersisa yang hanya bisa menangis dan berdoa.
Setelah tragedi tersebut, warga Beutong Ateuh hanya bisa pasrah berdiam diri. Dengan segenap
daya dan upaya, para santri yang tersisa—kebanyakan perempuan tua dan anak-anak kecil—
membangun kembali pesantren tersebut dan meneruskan pendidikan dengan segala keterbatasan.
Sampai kini, pesantren ini belum memiliki cukup dana untuk mengganti seluruh al-Quran, kitabkitab
kuning, dan surat-surat Yassin yang dibakar aparat. Juga barang-barang lain seperti seluruh
pakaian, kartu tanda pengenal, dan sebagainya yang musnah terbakar. Sampai detik ini, tidak ada
seorang pun pelaku pembantaian terhadap Tengku Bantaqiah dan santri Beutong Ateuh yang
diseret ke pengadilan. Tidak ada satu pun komandan tentara yang dimintai pertanggungjawaban
atas ulahnya membakar kitab suci Al-Qur'an dan surat Yassin, sampai hari ini. Para pelakunya
masih bebas berkeliaran. Mungkin tengah menanti hukum Allah SWT atas ulah mereka. Sama
seperti guru mereka: Jenderal Suharto.
Tragedi Beutong Ateuh hanyalah satu di antara jutaan tragedi kekejaman rezim Suharto terhadap
Muslim Aceh. Anehnya, sampai detik ini tidak ada satu pun pejabat pemerintah, sipil maupun
militer, yang terlibat kejahatan HAM sangat berat atas Muslim Aceh yang diseret ke pengadilan.
Mereka masih bebas berkeliaran dan bahkan banyak yang masih bisa hidup mewah dengan
menikmati kekayaan hasil jarahan atas kekayaan bumi Aceh. Dalam tulisan berikutnya akan
dipaparkan kejahatan-kejahatan HAM Suharto lainnya terhadap umat Islam, seperti Tragedi
Tanjung Priok, Lampung, dan lainnya.
Pada awal 1980-an, rezim Suharto
menghendaki agar Pancasila dijadikan
satu-satunya asas bagi seluruh partai
politik dan organisasi kemasyarakatan
yang ada di Indonesia. MPR akhirnya
mengukuhkan Pancasila sebagai asas
tunggal (astung) di Indonesia lewat
Tap MPR No.11/1983 yang
dituangkan dalam UU No.3/1985
tentang Partai Politik dan Golongan
Karya serta UU No.8/1985 tentang
Organisasi Kemasyarakatan.
Penetapan Pancasila sebagai astung
menuai badai kontroversi di tengah
masyarakat, terutama bagi umat Islam karena hal tersebut telah nyata-nyata mengganggu akidah
umat Islam. Walau ada elemen umat Islam yang mau tunduk pada keinginan rezim fasis ini,
namun di berbagai tempat aksi unjuk rasa menentang ditetapkannya Pancasila sebagai astung
meledak di mana-mana. Para ulama dan dai yang iman dan akidahnya masih lurus dan bersih,
dengan tegas mengatakan jika astung bertentangan dengan akidah Islam, sebab itu wajib
hukumnya menolak.
Apalagi langkah-langkah Jenderal Suharto ini lama-kelamaan mirip dengan apa yang dilakukan
para pemimpin komunis di negaranya. Jika negara komunisme memiliki partai negara yang
Sumber dari http://www.eramuslim.com – Januari 2009
bertindak sebagai buldoser suara rakyat, maka Golongan Karya di masa Suharto pun demikian.
Jika negara komunisme mengkultuskan pemimpinnya dan siapa pun yang berseberangan
dengannya dihabisi, demikian pula dengan yang dilakukan Suharto.
Bukan itu saja, di mulut penguasa fasis ini, Indonesia katanya berlandaskan Pancasila dan UUD
1945, namun kenyataannya rakyat kian banyak yang hidup melarat, umat Islam dipaksa ikut
program KB, di bidang ekonomi pengusaha sipit diberi keistimewaan bahkan dengan mematikan
pengusaha-pengusaha pribumi sekali pun, KKN di sekitar Suharto gila-gilaan, penembakan
misterius yang direstui Suharto pun tengah meraja-lela, dan sebagainya. Apalagi saat itu Jenderal
Leonardus Benny Moerdhani yang dikenal sebagai jenderal islamophobia sedang jadi anak emas
Suharto, umat Islam terus-menerus ditindas.
Salah satu wilayah yang paling berani menyuarakan kebenaran, menentang sikap represif rezim
ini adalah Tanjung Priok di Jakarta Utara. Para ulama dan dai setempat berkotbah dan
menyerukan agar umat Islam agar berani untuk kembali ke akidah Islam yang sebenarnya, dan
menentang thagut, dan melawan segala bentuk kesewenang-wenangan, seperti halnya Musa a.s.
menentang dan melawan kediktatoran Firaun.
Dalam situasi panas seperti inilah, pada Senin, 10 September 1984, Sersan Hermanu yang non-
Muslim, Babinsa setempat, tiba-tiba menyiram air got ke dinding Mushola Asy-Syahadah di
Gang IV Priok. Hermanu juga masuk mushola tanpa melepas sepatu larsnya dan meninginjakinjak
semua yang ada termsuk menginjak-injak Al-Qur'an. Di saat Suharto berkuasa, menginjakinjak
Al-Qur'an, bahkan membakarnya sekali pun, adalah hal yang biasa.
Atas kelakuan Hermanu, warga marah. Diseretlah motornya dan dibakar. Babinsa itu kabur. Tak
lama kemudian, empat pengurus mushola diciduk aparat. Saat itu tersiar kabar jika penembak
misteriusnya Benny Moerdhany akan menghabisi para mubaligh. Ini kian memanaskan situasi.
Ba'da Maghrib, Rabu, 12 September 1984, usai hujan, digelar tabligh akbar di Jalan Sindang
guna menuntut Kodim membebaskan empat pengurus mushola yang ditahan. Amir Biki berpesan
pada Yayan Hendrayana, salah seorang mubaligh, "Jangan takut-takut ngomong." Akhirnya
Yayan yang mendapat kesempatan keempat berteriak lantang, "Man Anshoru ilallah!?" Siapa
yang sanggup membela agama Allah!? Dijawab para jamaah, "Nahnu anshorullah!" Kami
sanggup!
Jamaah berjubel malam itu memenuhi lorong-lorong dan jalan di Priok. Tak kurang dari delapan
puluh buah speaker dipasang. Puluhan ribu warga Priok memadati jalan. Banyak di antaranya
ibu-ibu dan gadis-gadis berjilbab, sesuatu pemandangan yang masih asing di tahun itu. Entah
mengapa, malam itu Yayan Hendrayana memiliki firasat jika nanti sesuatu akan terjadi. Sebab
itu dia memerintahkan agar para perempuan dan anak-anak segera menyisih dari jamaah dan
segera masuk rumah terdekat jika terjadi apa-apa.
"…Sebab nanti tentaranya Benny akan membantai saudara-saudara sekalian!" ujar Yayan saat
bercerita pada penulis di tahun 1998. "Padahal saya tidak tahu bila nanti benar-benar terjadi
pembantaian. Saya ngomong begitu saja," tambahnya.
Sumber dari http://www.eramuslim.com – Januari 2009
Usai Yayan, Syarifin Maloko naik podium. Lalu Amir Biki. Tokoh Priok ini berkata lantang,
"Saudara-saudara, para ikhwan hamba Allah. Ternyata hingga kini tidak ada jawaban dari
Kodim. Ini berarti kita harus konsekuen dengan janji kita. Kepada saudara-saudara, saya titip
keluarga saya. Andai saya terbunuh malam ini, tolong mayat saya diarak le seluruh Jakarta!
Jarum jam sudah menunjuk angka sebelas. Puluhan ribu jamaah Priok segera bergerak mendekati
Kodim agar mau memberikan jawaban. Namun tiba-tiba, terdengar rentetan tembakan. Jamaah
yang berada di barisan depan bertumbangan di aspal. Genangan air hujan yang masih tersisa di
aspal seketika berubah warna menjadi merah. Situasi kacau. Tentara masih melepaskan rentetan
tembakan dengan laras senjata lurus menghadap jamaah. Ratusan jamaah Priok meregang
nyawa. Setelah jalanan sepi, ratusan mayat yang bergelimpangan di jalan segera diangkut truk
tentara, entah dibawa kemana. Mobil pemadam kebakaran mondar-mandir menyemprotkan air
ke aspal untuk menghilangkan genangan darah yang ada di sana-sini. Aparat berjaga di semua
tempat strategis dengan senjata siap tembak.
Pembantaian ratusan jamaah pengajian Priok oleh tentaranya rezim Suharto ini menimbulkan
kemarahan umat Islam di Indonesia. Untuk meredakannya, Benny Moerdhani menggandeng
Abdurrahman Wahid keliling pesantren di Jawa. Sedang Pangdam Jaya Try Sutrisno
mengamankan ibukota dari ekses tragedi besar tersebut. Tidak ada media massa yang berani
memuat tragedi tersebut dengan sebenarnya.
Sejumlah tokoh Priok yang berhasil lolos dikejar dan ditangkap. Para ustadz dan aktivis Islam
memenuhi penjara. Siksaan bathin dan fisik mereka alami. Ba'da Priok, aktivitas dakwah Islam
benar-benar ditindas. Sedang pemurtadan meraja-lela. Inilah salah satu bentuk kekejaman rezim
Suharto terhadap dakwah Islam. Sampai detik ini penegakan hukum atas Tragedi Priok masih
belum tuntas. Misteri gelap masih menyelubunginya.(bersambung/rd)
DOWNLOAD PDF NYA DI BAWAH INI
Admin 17 Jun, 2011
--
Source: http://krisnahomerecord.blogspot.com/2011/06/buku-siapa-sebenarnya-soeharto.html
~
Manage subscription | Powered by rssforward.com
0 komentar to “BUKU SIAPA SEBENARNYA SOEHARTO ?”