Jakarta - Centre for Orangutan Protection (COP) menemukan bukti penyiksaan orangutan yang dilakukan oleh sebuah perkebunan kelapa sawit.
COP menemukan satu orangutan dewasa pada 3 November lalu dalam kondisi terluka parah di perkebunan kelapa sawati perusahaan berinisial KAM yang anak usaha perusahaan berinisial MKH dari Malaysia.
Perkebunan ini terletak di Muara Kaman, Kalimantan Timur. Wajah orangutan tersebut bengkak dan berlumuran darah, kemungkinan dipukuli dengan benda tumpul. Hewan itu hanya terduduk di parit kering sebelah jalan utama di perkebunan karena terlalu lemah untuk bergerak.
"Kemungkinan besar mengalami patah tulang," demikian siaran pers COP. Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dari Kementerian Kehutanan kemudian mentranslokasikan orangutan sakit tersebut ke Taman Nasional Kutai.
Menanggapi gencarnya publikasi media mengenai pembantaian orangutan di Muara Kaman, lanjut COP, BKSDA setempat terus mengadakan penyelidikan, terutama pada perusahaan-perusahaan yang berada di Muara Kaman (empat perusahaan dan satu HTI).
Hingga hari ini belum ada satupun yang bisa dijadikan tersangka karena kurangnya bukti dan saksi. Pada 29 Oktober, Pusat Penelitian Hutan Tropis (PPHT) Unversitas Mulawarman Samarinda merekonstruksi satu kerangka orangutan yang diserahkan masyarakat dari kawasan perkebunan PT tersebut.
Bukti ini melengkapi foto-foto pembantaian orangutan yang disebarkan oleh mantan karyawan yang sakit hati terhadap perusahaan kelapa sawit asal Malaysia tersebut. Hardi Baktiantoro, juru kampanye COP menyatakan orangutan yang terluka parah merupakan bukti nyata di depan mata.
"Saksi juga ada. BKSDA hendaknya menyidik manajemen PT tersebut. Ini kejahatan serius menurut UU nomor 5/1990 mengenai Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya. BKSDA hendaknya bertindak proaktif. Penegakan hukum bisa dijalankan tanpa harus menunggu adanya pelapor," paparnya.
Kondisi orangutan yang 90% populasi dunianya berada di Indonesia, mengkhawatirkan berbagai kalangan internasional.
COP menemukan satu orangutan dewasa pada 3 November lalu dalam kondisi terluka parah di perkebunan kelapa sawati perusahaan berinisial KAM yang anak usaha perusahaan berinisial MKH dari Malaysia.
Perkebunan ini terletak di Muara Kaman, Kalimantan Timur. Wajah orangutan tersebut bengkak dan berlumuran darah, kemungkinan dipukuli dengan benda tumpul. Hewan itu hanya terduduk di parit kering sebelah jalan utama di perkebunan karena terlalu lemah untuk bergerak.
"Kemungkinan besar mengalami patah tulang," demikian siaran pers COP. Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dari Kementerian Kehutanan kemudian mentranslokasikan orangutan sakit tersebut ke Taman Nasional Kutai.
Menanggapi gencarnya publikasi media mengenai pembantaian orangutan di Muara Kaman, lanjut COP, BKSDA setempat terus mengadakan penyelidikan, terutama pada perusahaan-perusahaan yang berada di Muara Kaman (empat perusahaan dan satu HTI).
Hingga hari ini belum ada satupun yang bisa dijadikan tersangka karena kurangnya bukti dan saksi. Pada 29 Oktober, Pusat Penelitian Hutan Tropis (PPHT) Unversitas Mulawarman Samarinda merekonstruksi satu kerangka orangutan yang diserahkan masyarakat dari kawasan perkebunan PT tersebut.
Bukti ini melengkapi foto-foto pembantaian orangutan yang disebarkan oleh mantan karyawan yang sakit hati terhadap perusahaan kelapa sawit asal Malaysia tersebut. Hardi Baktiantoro, juru kampanye COP menyatakan orangutan yang terluka parah merupakan bukti nyata di depan mata.
"Saksi juga ada. BKSDA hendaknya menyidik manajemen PT tersebut. Ini kejahatan serius menurut UU nomor 5/1990 mengenai Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya. BKSDA hendaknya bertindak proaktif. Penegakan hukum bisa dijalankan tanpa harus menunggu adanya pelapor," paparnya.
Kondisi orangutan yang 90% populasi dunianya berada di Indonesia, mengkhawatirkan berbagai kalangan internasional.
up2det 30 Nov, 2011
--
Source: http://www.jelajah.up2det.com/2011/11/ini-dia-bukti-orangutan-disiksa.html
~
Manage subscription | Powered by rssforward.com
0 komentar to “Ini Dia Bukti Orangutan Disiksa”