Header Ad Banner

ads

Senin, 23 Mei 2011

NYOTO: Peniup Saksofon di Tengah Prahara

Melalui buku "Nyoto: Peniup Saksofon di Tengah Prahara", figur Nyoto digambarkan lebih dekat kepada Soekarnoisme ketimbang Marxisme-Leninisme, ideologi resmi partainya–Partai Komunis Indonesia (PKI).

Akan tetapi, dalam diskusi menyambut Hari Kelahiran Nyoto, 17 Januari 1927, Sabar Anantaguna membantah keras pernyataan tersebut. Teman sekolah dan kolega Nyoto di Lekra ini justu lebih suka menggunakan istilah "Soekarno-Nyotois".

"Kalau orang menyebut Nyoto sebagai Soekarnois, maka saya menjawab: Soekarno-Nyotois. Kenapa Soekarno dekat dengan PKI? itu karena Nyoto," kata Sabar Anantaguna.

Sabar menganggap Nyoto sebagai orang memegang teguh prinsip, tidak mudah goyah dalam keadaan apapun. Bahkan, jika pidato-pidato Bung Karno di tahun 1960-an semakin condong ke marxisme, maka itu tidak lepas dari pengaruh Nyoto.

"Nyoto tidak semudah itu mengubah pendiriannya. Itu terlihat sejak ia masih kecil hingga terjun dalam pergerakan," kata Sabar.

Dalam pengamatan Martin Aleida, bekas wartawan Harian Ra'jat yang ditugaskan meng-cover Bung Karno, Nyoto merupakan orang kepercayaan Bung Karno. "Dalam banyak kesempatan di istana negara, Bung Karno sering memanggil staffnya dan mempertanyakan keberadaan Nyoto. Ini memberikan ilustrasi betapa dekatnya Bung Karno dengan Nyoto kala itu."

Martin Aleida pun mensitir salah satu pernyataan Bung Karno saat bertemu dengan tokoh-tokoh muda PNI, yang berkata: "Penafsiran mengenai Soekarnoisme yang paling benar adalah Nyoto."

Sosok cerdas dan serba-bisa

Sabar Anantaguna, ketika menjadi teman sekelas Nyoto di MULO Solo, mengaku bahwa Nyoto merupakan sosok sangat cerdas dan pandai. "Sebagai pelajar, Nyoto sangat cerdas dan pandai. Tulisan-tulisannya selalu dijadikan contoh oleh guru," kenang Sabar Anantaguna.

S. Anantaguna mengisahkan, suatu hari guru menyuruh mereka mengarang soal sepak bola dan harus ditulis dengan lucu. Saat itu, seingatnya, Nyoto menulis mengenai kekecewaan penjudi bola karena pertandingan batal dilakukan akibat lapangan tergenang oleh air hujan yang lebat.

Nyoto, yang lebih tua dua tahun dibandingkan S. Ananataguna, memperlihatkan kecerdasan dan kepandaiannya saat menjadi politikus. Tidak mengherankan, meski baru berusia 17 tahun, Nyoto sudah menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)–semacam parlemen paska di masa awal Republik– di Jogjakarta.

Dengan kepandaian dan kecerdasannya, Nyoto menjadi seorang politisi ulung di usia yang masih terbilang sangat muda. Selain itu, menurut S. Anantaguna, Nyoto seorang orator yang sangat hebat.

Berbeda dengan kebanyakan orator, Nyoto selalu berpidato dengan beretika dan menggunakan penjelasan rasional, tidak pernah memakai kata-kata kasar dan makian. "Dia menggunakan retorika-retorika yang hebat sekali dan mengena."

Meski Nyoto tidak pernah menimbah ilmu di Universitas atau belajar di luar negeri, tetapi Sabar Anantaguna mengakui bahwa pengetahuan Nyoto luas sekali, terutama di bidang politik, filsafat, dan kebudayaan.

Nyoto yang dikenal tidak banyak bicara, dikenal juga sebagai tokoh yang punya kharisma dan pengaruh sangat kuat terhadap orang-orang di sekitarnya.

"Saya rasa, kalau Bung Nyoto tidak ada, maka Lekra tidak akan pernah besar seperti jaman itu," kata Martin Aleida, yang juga pernah menjadi aktivis Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).

Begitu juga dengan kebesaran Partai Komunis Indonesia (PKI), tidak lepas dari pengaruh Nyoto, yang pada saat itu berhasil mendekatkan PKI dan Bung Karno.

Selain kehebatan di bidang politik, Nyoto juga dikenal sebagai seorang pemain musik dan pencinta olahraga. Musik yang sering dimainkan Nyoto adalah electone. Namun, Nyoto diketahui pandai memainkan banyak alat musik, seperti biola, piano, gitar, saxophone dan klarinet.

"Saya tidak pernah melihat Nyoto memainkan Saxofone, tetapi dia memang sangat pintar memainkan electone. Kalau ada acara di istana, Nyoto sering bergabung dengan pemain musik dan memainkan electone untuk mengiringi tari lenso," kenang Martin.

Martin juga menduga Nyoto seorang jago seni bela diri. Salah seorang pengawalnya, Hardono, adalah seorang ahli seni bela diri dan ada kemungkinan Nyoto belajar dari sana.
Dan, mungkin sedikit diantara kita yang tahu, bahwa Nyoto pernah menjadi penasehat Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI).

Pemikiran Politik

Mantan pimpinan Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan sekaligus mahasiswa filsafat STF Driyarkara, Anom Astika, mengatakan: "Orang ini punya kemampuan, kalau dalam filsafat, berbicara dan menulis dengan memberikan arah atau orientasi politik."

Anom Astika kemudian menunjukkan satu petikan tulisan Nyoto yang menjelaskan hal tersebut:

"Juga ketika Lenin memulai dengan elektrifikasi, karena menurut keyakinannya Komunisme itu adalah sistem Sovyet plus elektrifikasi seluruh negeri, ada orang orang yang mengejek Lenin dengan menuduhnya "orang gila". Apa yang perlu bagi Rakyat pekerja memang "gila" di mata burjuasi dan kaum tuan tanah, dan sebagaimana setiap tamu Sovyet kini bisa menyaksikan: elektrifikasi seluruh negeri itu sudah terlaksana."

Pada semua tulisan Nyoto, tambah Anom, Nyoto mengulas sejarah dengan sangat lengkap dan detail sekali, terutama tulisannya di Bintang Merah dan buku "Pers dan Massa".

Meskipun banyak tulisan Nyoto yang memuji-muji Soviet, tetapi ia selalu berusaha menempatkan revolusi Indonesia seakan berbeda dengan revolusi Rusia. "Karakter independenya selalu nampak mencolok," kata mantan tahanan politik rejim soeharto ini.

Anom juga mengeritik sebuah pernyataan dalam pengantar buku "Nyoto: Peniup Saksofon di Tengah Prahara", yang diterbitkan oleh TEMPO, bahwa "Nyoto menghayati Marxisme dan Leninisme, tapi tak menganggap yang "kapitalis" harus selalu dimusuhi."

Menurut Anom Astika, komunisme memang tidak pernah memusuhi kapitalis, tetapi yang dimusuhi komunisme adalah relasi produksi yang dihasilkan oleh kapitalisme.

Di luar yang diperkirakan orang, sebagaimana sering dituduhkan kepada stalinisme, Nyoto adalah pribadi yang sangat menghargai perbedaan pendapat dan selalu mencari arti penting dari perbedaan pendapat itu.

Nyoto sangat disegani seniman

Nyoto juga pernah menulis mengenai peringatan kematian Beethoven. Di zaman baru, koran terbitan milik Lekra, ada upaya penteorisasian aktivitas kesenian rakyat, salah satunya, penteorisasian musik alu—semacam pertunjukan memukul alu di dalam lesung.

Di Lekra, organisasi kebudayaan tempat Nyoto berkecimpung, S. Antaguna menyatakan bahwa Nyoto tidak pernah memaksakan Lekra harus memeluk realisme sosialis. "Dalam rapat-rapat Lekra, Nyoto lebih banyak diam. Baru kalau ada yang kurang disetujui, dia akan berbicara," kata Antaguna.

Lekra akan menerima semua struktur dan gaya, asalkan itu berpihak kepada perjuangan rakyat. Nyoto sangat menyadari bahwa setiap seniman punya jati diri dan ide masing-masing.

Sangat Mencintai Keluarga

Ilham Dayawan, anak kedua Nyoto, mengaku bahwa ayahnya sangat sayang kepada keluarganya. "Jika berkunjung kemanapun, ia tidak pernah melupakan istri dan anak-anaknya."

Ini juga dibenarkan oleh Martin dan S Anantaguna, yang sering menyaksikan Nyoto membawa anak-anaknya ke kantor Harian Ra'jat dan kegiatan-kegiatan Lekra.

Ilham juga masih mengingat bagaimana koleksi buku-buku ayahnya, yang memenuhi ruangan hingga menyundul langit-langit rumah. Di rumah Nyoto, di Jalan Malang, rak buku terdapat dimana-mana.

Nyoto juga menyimpan banyak koleksi piringan hitam, bukan saja koleksi musik klasik dari eropa, tetapi juga musik-musik nasional dan daerah.

Sebagai anak yang ditinggal ayahnya terlalu cepat, dalam usia 8 tahun, ia merasa sering merasa galau dan bertanya-tanya, terutama keberadaan Nyoto pasca 1965 itu masih gelap. "Kita tidak tahu bagaimana ia meninggal, dengan cara apa, dimana kuburnya."

Mempertanyakan Akurasi Laporan TEMPO

Sementara itu, rumor perselingkuhan antara Nyoto dengan seorang perempuan Rusia bernama Rita dibantah keras oleh pembicara, yaitu Martin Aleida dan S. Anantaguna.

Menurut Martin Aleida, gaya sensasional TEMPO, terutama dalam mengangkat tokoh Rita dalam kehidupan Nyoto, menyebabkan laporan tersebut dipertanyakan akurasinya.

"Ini dikutip habis-habisan TEMPO dari Joesoef (Joesef Ishak). Sedangkan Joesof mendengar rumor itu di penjara Salemba. Benar tidak dengan itu?" kata Martin Aleida yang mengaku bahwa laporan TEMPO itu mengutip habis-habisan pernyataan Joesoef Isak dalam sebuah diskusi.

Dan, Martin menyarankan, jika mau menukik lebih jauh mengenai siapa Rita ini, ada baiknya menggali informasi dari Sibarani, karikaturis Indonesia jaman itu, yang juga kenal dan punya hubungan dengan Rita.

Sabar Anantaguna menganggap kasus itu masih sebatas rumor, sesuatu yang belum tentu benar dan mesti diverifikasi kebenarannya.

"Nyoto adalah orang yang sangat mencintai istrinya, Soetarni," tegasnya.

Hal lain yang dibantah dari laporan TEMPO adalah pernyataan bahwa "Nyoto menghilangkan Hemingway dari catatan." "Ini tidak benar," kata Martin.

Yang benar, menurut Martin, ketika terjadi kampanye anti-film Amerika dan ada baliho tentang film Amerika berjudul "The Old Man and The Sea", di situ ada photo Ernest Hemingway sebagai penulisnya.

Ketika gambar baliho itu mau dimuat di Harian Ra'jat, Nyoto menghitamkan nama Ernest Hemingway ini. Karena Nyoto sangat tahu bahwa Hemingway adalah seorang yang berfikiran maju, dan bersahabat dengan Fidel Castro dan sering memancing bersama-sama.

Perpecahan Nyoto-Aidit dan G.30/S

Nyoto adalah orang yang sangat teguh pendirian, tidak mudah untuk berganti ideologi. Dengan demikian, adalah tidak benar untuk menyimpulkan bahwa Nyoto telah bergeser dari seorang marxis-leninis menjadi soekarnois.

Begitu juga dengan isu perpecahan Nyoto-Aidit, yang menurut isu yang berhembus, menyebabkan Nyoto tersingkir dari perahu kepemimpinan partai.

Dalam ingatan Sabar Anantaguna, Nyoto merupakan orang sangat cinta kepada partai dan patuh kepada Aidit. Sebagai contoh, Sabar mengutip pernyataan Nyoto bahwa "dia berangkat ke Moskow atas pesan Aidit dan di sana ia mengejek Khrushchev (Nikita Khrushchev) di sana. Itu pertanda bahwa PKI menentang revisionisme.

Bahwa Nyoto tidak tahu menahu soal G.30/S, Sabar menganggap hal itu mungkin saja. "Kala semua tahu, PKI akan menyelamatkan diri," ujar Antaguna dengan nada kelakar.

Pada intinya, menurut Anantaguna, bukan cuma Nyoto yang kemungkinan tidak tahu soal G.30/S, tetapi banyak orang PKI memang tidak tahu. Pada saat itu, partai sama sekali tidak mempersiapkan diri untuk melakukan parlawanan terhadap teror kaum reaksioner.

Soal loyalitas Nyoto terhadap PKI, itupun tidak dapat diragukan lagi. "Nyoto mempertahankan partai hingga akhir hayatnya. Bahkan, Nyoto lebih duluan mati dibanding Aidit," katanya.

Satu pertanyaan diajukan Sabar Anantaguna, "Jika Nyoto memang lebih loyal kepada Bung Karno, kenapa dia tidak pergi ke Bung Karno dan memaki-maki PKI pasca G.30/S?"

Menurut catatan Soe Hok Gie dalam "Orang-Orang Di Persimpangan Kiri Jalan", Aidit bertemu Nyoto di Solo pada pertengahan tahun 1946, setelah ia lepas dari penjara pulau Onrust.

http://berdikarionline.com/tokoh/20110119/nyoto-seorang-marxis-hingga-akhir-hayatnya.html

Admin 23 May, 2011


--
Source: http://krisnahomerecord.blogspot.com/2011/05/nyoto-peniup-saksofon-di-tengah-prahara.html
~
Manage subscription | Powered by rssforward.com



Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

0 komentar to “NYOTO: Peniup Saksofon di Tengah Prahara”

SPONSOR

STATISTIC

 

Copyright © 2009 by Bola80

Template by Blogger Templates | Powered by Blogger