Header Ad Banner

ads

Senin, 23 Mei 2011

SEJARAH PERISTIWA G30S/PKI VERSI DR.SOEBANDRIO

buku ini menceritakan pengakuan dr.soebandrio ttg peristiwa G30SPKI versi dia...

intinya...

menurut dia dalang sebenernya peristiwa ini adalah AD kubu kelompok bayangan soeharto

yg membuat rekayasa buat menuduh PKI sebagai dalang peristiwa tersebut...
rekayasa dan provokasi kelompok bayangan soeharto tersebut adalah...

- peristiwa sakitny bung karno pd awal agustus 1965 yg dibesar2kan...
diberitakan pd waktu itu sakit bung karno sangat berat.Dikabarkan, pimpinan PKI DN

Aidit sampai mendatangkan dokter dr RRC...Dokter RRC yang memeriksa Bung Karno
menyatakan bahwa Bung Karno sedang kritis. Intinya,
jika tidak meninggal dunia, Bung Karno dipastikan
bakal lumpuh. Ini menggambarkan bahwa Bung Karno saat
itu benar-benar sakit parah.Dari peristiwa itu lantas dianalisis bahwa PKI yang saat

itu berhubungan mesra dengan Bung Karno - merasa khawatir pimpinan
nasional bakal beralih ke tangan orang AD. PKI tentu
tidak menghendaki hal itu, mengingat PKI sudah
bermusuhan dengan AD sejak pemberontakan PKI di
Madiun, 1948.Menurut analisis tersebut, begitu PKI
mengetahui bahwa Bung Karno sakit keras, mereka
menyusun kekuatan untuk merebut kekuasaan. Akhirnya
meletus G30S.
Ini alibi rekayasa Soeharto yang mendasari tuduhan
bahwa PKI adalah dalang G30S.
peristiwa ini ditulis di banyak buku, sebab memang hanya itu informasi yang ada
dan tidak dapat dikonfirmasi, karena pelakunya - Bung
Karno, DN Aidit dan dokter RRT -ketiga-tiganya tidak
dapat memberikan keterangan sebagai bahan
perbandingan. Bung Karno ditahan sampai meninggal.
Aidit ditembak mati tanpa proses pengadilan; sedangkan
dokter RRT itu tidak jelas keberadaannya. Itulah
sejarah versi plintiran.


Tetapi ada saksi lain selain tiga orang itu, yakni
Dr.Soebandrio sendiri dan Wakil Perdana Menteri-II, dr.
Leimena.
Dr.Soebandrio adalah dokter yang sekaligus dekat dengan Bung Karno.
dia mengetahui secara persis peristiwa kecil itu.
Yang benar demikian: memang Bung Karno diperiksa oleh
seorang dokter Cina yang dibawa oleh Aidit, tetapi
dokternya bukan didatangkan dari RRC, melainkan dokter
Cina dari Kebayoran Baru, Jakarta, yang dibawa oleh
Aidit. Fakta lain: Bung Karno sebelum dan sesudah
diperiksa dokter itu juga saya periksa. Pemeriksaan
yang dilakukan dr.soebandrio didampingi oleh dr. Leimena. Jadi
ada tiga dokter yang memeriksa Bung Karno.
Penyakit Bung Karno saat itu adalah: masuk angin
(bukan sakit keras seperti yg dikabarkan tersebut).
DN Aidit juga mengetahui penyakit Bung Karno ini.
penyebabnya adalah...
Beberapa malam sebelumnya, Bung Karno
jalan-jalan meninjau beberapa pasar di Jakarta.
Tujuannya adalah melihat langsung harga bahan
kebutuhan pokok. Jalan keluar-masuk pasar di malam
hari tanpa pengawalan yang memadai sering dilakukan
Bung Karno. Nah, itulah penyebab masuk angin.
Tetapi kabar yang beredar adalah bahwa Bung Karno
sakit parah. Lantas disimpulkan bahwa karena itu PKI
kemudian menyusun kekuatan untuk mengambil-alih
kepemimpinan nasional. Akhirnya meletus G30S yang
didalangi oleh PKI.
kelompok Soeharto sengaja menciptakan isu yang secara logika
membenarkan PKI berontak atau menyebarkan kesan
(image) bahwa dengan cerita itu PKI memiliki alasan
untuk melakukan kudeta.Yang bisa
memberikan keseimbangan berita sebenarnya ada lima orang yaitu
Bung Karno, Aidit, dokter Cina tersebut,
Leimena dan dr.soebandrio sendiri. Tetapi setelah meletus G30S
semuanya dalam posisi lemah.
Intinya, pada bulan Agustus 1965 kelompok bayangan
Soeharto jelas kelihatan ingin secepatnya memukul PKI.
Caranya, mereka melontarkan provokasi-provokasi
seperti itu. Provokasi adalah cara perjuangan yang
digunakan oleh para jenderal AD kanan untuk mendorong
PKI mendahului memukul AD. Ini taktik untuk merebut
legitimasi rakyat. Jika PKI memukul AD, maka PKI
ibarat dijebak masuk ladang pembantaian (killing
field). Sebab, AD akan - dengan seolah-olah terpaksa -
membalas serangan PKI. Dan, serangan AD terhadap PKI
ini malah didukung rakyat, sebab seolah-olah hanya
membalas. Ini taktik AD Kubu Soeharto untuk menggulung
PKI. Jangan lupa, PKI saat itu memiliki massa yang
sangat besar, sehingga tidak dapat ditumpas begitu
saja tanpa taktik yang canggih.

Pelaku G30S adalah tentara dan gerakan itu didukung
oleh Soeharto yang juga tentara. Sedangkan Aidit
langsung ditembak mati tanpa proses pengadilan.


-isu dewan jenderal

Isu Dewan Jenderal bersumber dari Angkatan
Kelima. Angkatan Kelima bersumber dari rencana sumbangan
persenjataan gratis dari RRC. Tiga hal ini berkaitan
erat. tawaran bantuan persenjataan gratis untuk sekitar 40 batalyon
dari RRC diterima Bung Karno. Hanya tawaran yang
diterima, barangnya belum dikirim. Bung Karno lantas
punya ide membentuk Angkatan Kelima.
Ternyata Menpangad Letjen A Yani tidak menyetujui ide
mengenai Angkatan Kelima itu.Para perwira ABRI lainnya mengikuti Yani, tidak setuju
pada ide Bung Karno itu.
Karena itulah berkembang isu mengenai adanya
sekelompok perwira AD yang tidak puas terhadap
Presiden. Isu terus bergulir, sehingga kelompok
perwira yang tidak puas terhadap Presiden itu disebut
Dewan Jenderal. Perkembangan isu selanjutnya adalah
bahwa Dewan Jenderal akan melakukan kup terhadap
Presiden.
Yang paling serius menanggapi isu Dewan Jenderal itu
adalah Letkol Untung Samsuri. Sebagai salah satu
komandan Pasukan Kawal Istana - Cakra Birawa - ia
memang harus tanggap terhadap segala kemungkinan yang
membahayakan keselamatan Presiden. Untung gelisah.
Lantas Untung punya rencana mendahului gerakan Dewan
Jenderal dengan cara menangkap mereka. Rencana ini
disampaikan Untung kepada Soeharto. Menanggapi itu
Soeharto mendukung. Malah Untung dijanjikan akan
diberi bantuan pasukan. Ini diceritakan oleh Untung
kepada dr.soebandrio saat mereka sama-sama ditahan di LP Cimahi,
Bandung
Pada 26 September 1965 muncul informasi dari empat orang
sipil. Mereka adalah Muchlis Bratanata, Nawawi
Nasution, Sumantri dan Agus Herman Simatupang. Dua
nama yang disebut terdahulu adalah orang NU sedangkan
dua nama belakangnya dri IPKI.Mereka cerita bahwa
pada tanggal 21 September 1965 diadakan rapat Dewan
Jenderal di Gedung Akademi Hukum Militer di Jakarta.
Rapat itu membicarakan antara lain: Mengesahkan
kabinet versi Dewan Jenderal.
Muchlis tidak hanya bercerita, ia bahkan menunjukkan
pita rekaman pembicaran dalam rapat. Dalam rekaman
tersebut ada suara Letjen S. Parman (salah satu korban
G30S) yang membacakan susunan kabinet.
Susunan kabinet versi Dewan Jenderal - menurut rekaman
itu - adalah sebagai berikut:
Letjen AH Nasution sebagai Perdana Menteri
Letjen A Yani sebagai Waperdam-I (berarti menggantikan
saya) merangkap Menteri
Hankam,
Mayjen MT Haryono menjadi Menteri Luar Negeri,
Mayjen Suprapto menjadi Menteri Dalam Negeri,
Letjen S Parman sendiri menjadi Menteri Kehakiman,
Ibnu Sutowo (kelak dijadikan Dirut Pertamina oleh
Soeharto) menjadi menteri Pertambangan.
Seharusnya rencana ini masuk klasifikasi sangat
rahasia. Tetapi mengapa bisa dibocorkan oleh empat
orang sipil? DR.soebandrio menarik kesimpulan: tiada lain
kecuali sebagai alat provokasi. Jika alat provokasi,
maka rekaman itu palsu. Tujuannya untuk mematangkan
suatu rencana besar yang semakin jelas gambarannya.
Bisa untuk mempengaruhi Untung akan semakin yakin
bahwa Dewan Jenderal - yang semula kabar angin -
benar-benar ada.

- Dokumen Gilchrist
Dokumen ini sebenarnya
adalah telegram (klasifikasi sangat rahasia) dari Duta
Besar Inggris untuk Indonesia di Jakarta Sir Andrew
Gilchrist kepada Kementrian Luar Negeri Inggris.
Dokumen itu bocor ketika hubungan Indonesia-Inggris
sangat tegang akibat konfrontasi Indonesia-Malaysia
soal Borneo (sebagian wilayah Kalimantan).
Isi dokumen itu dia nilai sangat gawat. Intinya:
Andrew Gilchrist melaporkan kepada atasannya di Kemlu
Inggris yang mengarah pada dukungan Inggris untuk
menggulingkan Presiden Soekarno. Di sana ada
pembicaraan Gilchrist dengan seorang kolega Amerikanya
tentang persiapan suatu operasi militer di Indonesia.
dr soebandrio mengkutip salah satu paragraf yang berbunyi demikian:
rencana ini cukup dilakukan bersama 'our local army
friends.'
pemerintah Inggris tidak pernah
melontarkan bantahan, padahal sudah mengetahui bahwa
dokumen rahasia itu beredar di Indonesia.
reaksi bung karno sangat terkejut, tentu
Bung Karno cemas.Bung Karno sedang
terbakar oleh provokasi itu.ini adalah alat provokasi untuk memainkan TNI AD
dalam situasi politik Indonesia yang memang tidak
stabil.
Pertama: isinya cukup membuat orang yang
menjadi sasaran merasa ngeri. Kedua, dokumen sengaja
dibocorkan agar jatuh ke tangan pendukung-pendukung
Bung Karno dan PKI. Bagaimana mungkin dokumen rahasia
seperti itu berada di rumah Palmer yang menjadi
bulan-bulanan demo pemuda. Apakah itu bukan suatu cara
provokasi?
Dokumen Gilchrist adalah provokasi pertama.
Sedangkan provokasi kedua adalah isu Dewan Jenderal.
sumber utama dua alat provokasi itu memang cukup rumit
untuk dipastikan.
Soeharto juga bermain dalam isu Dewan
Jenderal. Beberapa waktu sebelum G30S meletus, Yoga
diutus oleh Soeharto untuk menemui Mayjen S Parman
guna menyampaikan saran agar Parman berhati-hati
karena isu bakal adanya penculikan terhadap
jenderal-jenderal sudah santer beredar. Namun tidak
ada yang tahu siapa yang menyebarkan isu seperti itu.
Parman tidak terlalu serius menanggapi saran itu,
sebab itu hanya isu. Parman bertanya kepada Yoga:
Apakah pak Yoga sudah punya bukti-bukti? Yang ditanya
menjawab: Belum, pak. Lantas Parman menyarankan agar
Yoga mencari bukti. Jangan hanya percaya isu sebelum
ada bukti, kata Parman. Yoga menyanggupi akan
mencarikan bukti.Yoga adalah anggota Trio Soeharto
informasi yang disampaikan oleh Yoga kepada Parman itu bertujuan
untuk mengetahui reaksi Parman yang dikenal dekat
dengan Yani. Info tersebut tentu untuk memancing,
apakah Parman sudah tahu. Sekaligus - jika
memungkinkan - mengungkap seberapa jauh partisipasi
Parman terhadap isu tersebut. Dan karena Parman adalah
teman dekat Yani, reaksi Parman ini bisa disimpulkan
sebagai mewakili persiapan Yani.
Dengan reaksi Parman seperti itu, maka bisa
disimpulkan bahwa Parman sama sekali tidak
mengantisipasi arah selanjutnya jika seandainya Dewan
Jenderal benar-benar ada. Parman tidak siap menghadapi
kemungkinan yang bakal terjadi selanjutnya. Ini juga
bisa disimpulkan bahwa Yani juga tidak siap.
Intinya, info dari Yoga kepada Parman berbalas info,
sehingga kelompok Soeharto mendapatkan info bahwa
kelompok Yani sama sekali belum siap mengantisipasi
kemungkinan terjadinya penculikan. Lebih jauh, rencana
Soeharto melakukan gerakan dengan memanfaatkan Kolonel
Latief dan memanipulasi kelompok Letkol Untung, belum
tercium oleh kelompok lawan: Kelompok Yani.
Jika seandainya gerakan gagal mencapai tujuan
(khususnya bila Parman tidak berhasil dibunuh), maka
peringatan Yoga akan lain maknanya. Peringatan itu
bisa berubah menjadi jasa Soeharto menyelamatkan
Parman. Maka Soeharto tetap tampil sebagai pahlawan.


- ADANYA PERAN AMERIKA SERIKAT

Sudah jelas AS takut Indonesia
dikuasai oleh komunis. Dan karena Bung Karno cenderung
kiri, maka proyek mereka ada dua: hancurkan PKI dan
gulingkan Bung Karno. AS juga punya
kepentingan ekonomis di Indonesia dan secara umum di
Asia.
Secara kongkrit bisnis minyak AS di Indonesia (Caltex) serta
beberapa perusahaan lainnya - bagi AS - [B]harus aman.
Karena itu politik Bung Karno dianggap membahayakan
kepentingan AS di Indonesia. Namun mereka kesulitan
mengubah sikap Bung Karno yang tegas. Ada upaya AS
untuk membujuk Bung Karno agar mengubah sikap
politiknya tetapi gagal. Secara politis Bung Karno
juga sangat kuat. Di dalam negeri Bung Karno didukung
oleh Angkatan Bersenjata dan PKI. Tak kalah
pentingnya, rakyat sungguh kagum dan simpati
terhadapnya. Di luar negeri ia mendapat dukungan dari
negara-negara Asia Tenggara dengan politik
Non-Bloknya.
[/B]

Soal sakitnya Presiden,
target mereka bukan menjebak PKI melakukan gerakan -
sehingga PKI masuk ladang pembantaian - sebab Aidit
tahu persis Presiden hanya masuk angin.
Plintiran isu tersebut lebih untuk konsumsi publik.
Jika suatu saat ada gerakan perebutan kekuasaan, maka
akan terlihat wajar bila gerakan itu dilakukan oleh
PKI. Jika Presiden sakit keras, wajar PKI merebut
kekuasaan, karena takut negara akan dikuasai oleh
militer. Dan karena itu, wajar pula jika PKI dihabisi
oleh militer.
Dokumen Gilchrist jelas ada pemain Amerikanya. Dokumen itu awalnya disimpan di
rumah warga Amerika Bill Palmer. Dokumen tersebut
menurut dr.soebandrio otentik, namun mengapa dibocorkan?
Faktanya: pada pertengahan
November 1965 AS mengirim bantuan obat-obatan dalam
jumlah besar ke Indonesia. Bantuan tersebut
mengherankan
.Indonesia tidak sedang dilanda
gempa bumi. Juga tidak ada bencana atau perang. Yang
ada adalah bahwa pada 1 Oktober 1965 terjadi
pembantaian enam jenderal dan seorang letnan.
Pada saat obat-obatan itu dikirim kira-kira sudah 40 ribu anggota PKI dan
simpatisannya dibantai. Nah, di sinilah pengiriman
obat-obatan itu menjadi janggal. Suatu logika yang
sangat aneh jika AS membantu obat-obatan untuk PKI.

laporan bahwa kiriman obat-obatan itu hanya kamuflase; hanya
sebuah selubung untuk menutupi sesuatu yang jauh lebih
penting. Sebenarnya itu adalah kiriman senjata untuk
membantu tentara dan pemuda membantai PKI.
Di sisi lain, reputasi mereka di bidang
subversif sudah dibuktikan dengan tampilnya agen-agen
CIA yang berpengalaman menghancurkan musuh di berbagai
negara.Salah satu agen CIA yang andal adalah Marshall Green
(Dubes AS untuk Indonesia). Reputasinya di bidang
subversif tak diragukan lagi. Sebelum bertugas di
Indonesia ia adalah Kuasa Usaha AS di Korea Selatan.
Di sana ia sukses menjalankan misi AS membantu
pemberontakan militer oleh Jenderal Park Chung Hee
yang kemudian memimpin pemerintahan militer selama
tiga dekade. Di Indonesia ia menggantikan Howard Jones
menjelang meletusnya G30S. Jadi pemain penting asing
dalam drama 1 Oktober 1965 itu adalah Green dan Jones.
Tentu CIA tidak dapat bekerja sendiri menghancurkan
komunis di Indonesia.mereka butuh mitra lokal.
Di Indonesia mereka merekrut Kamaruzaman yang lebih
terkenal dengan panggilan Sjam sebagai spion. Sjam
adalah tentara sekaligus orang PKI. Kedudukan Sjam di
PKI sangat strategis yaitu sebagai Ketua Biro Khusus
PKI yang bisa berhubungan langsung dengan Ketua PKI DN
Aidit.
CIA beruntung
memiliki mitra lokal yang berdiri di dua kubu yang
berseberangan.
pada tanggal 12 Agustus 1965 ia
mengaku dipanggil oleh Aidit untuk membahas betapa
seriusnya sakit Presiden. Juga Kemungkinan Dewan
Jenderal mengambil tindakan segera jika Presiden
meninggal. Itu dikatakan setelah Aidit dibunuh.
Di pengadilan Sjam mengatakan bahwa perintah menembak
para jenderal datang dari dia sendiri, namun itu atas
perintah Aidit yang disampaikan kepadanya. Inilah
satu-satunya pernyataan yang memberatkan Aidit selain
keberadaan Aidit di Halim pada taggal 30 September
1965 malam. Namun Aidit tidak sempat bicara sebab dia
ditembak mati oleh Kolonel Yasir Hadibroto (kelak
dijadikan Gubernur Lampung oleh Soeharto)

- MENJALIN SAHABAT LAMA

Ini adalah bagian yang mengungkap keterlibatan
Soeharto dalam G30S. Dia menjalin hubungan dengan dua
sahabat lama - Letkol TNI AD Untung Samsuri dan
Kolonel TNI AD Abdul Latief - beberapa waktu sebelum
meletus G30S. Untung kelak menjadi komandan pasukan
yang menculik dan membunuh 7 perwira, sedangkan Latief
hanya dituduh terlibat dalam peristiwa itu.
Untung adalah anak buah Soeharto ketika Soeharto masih
menjabat sebagai Panglima Divisi Diponegoro, Jateng
Untung bertubuh agak pendek namun berjiwa pemberani.
Ia adalah tipe tentara yang loyal
kepada atasannya, sebagaimana umumnya sikap prajurit
sejati. Kepribadiannya polos dan jujur. Ini terbukti
dari fakta bahwa sampai beberapa saat sebelum
dieksekusi, dia masih tetap percaya bahwa vonis
hukuman mati terhadap dirinya tidak mungkin
dilaksanakan." Percayalah, pak Ban, vonis buat saya itu
hanya sandiwara" katanya... Kenapa
begitu? Karena ia percaya pada Soeharto yang mendukung
tindakannya: membunuh para jenderal.
ekitar akhir 1950-an Soeharto dan Untung pisah
kesatuan. Namun pada tahun 1962 mereka berkumpul lagi.
Mereka dipersatukan oleh tugas merebut Irian Barat
dari tangan Belanda. Saat itu Soeharto adalah Panglima
Komando Mandala, sedangkan Untung adalah anak buah
Soeharto yang bertugas di garis depan.
Dalam tugas
itulah keberanian Untung tampak menonjol: ia memimpin
kelompok kecil pasukan yang bertempur di hutan
belantara Kaimana. Operasi pembebasan Irian akirnya
sukses. Pada tanggal 15 Oktober 1962 Belanda
menyerahkan Irian kepada PBB. Lantas pada tanggal 1
Mei 1963 Irian diserahkan oleh PBB ke pangkuan RI.
Keberanian Untung di medan perang sampai ke telinga
Presiden. Karena itu Untung dianugerahi Bintang
Penghargaan oleh Presiden Soekarno karena
keberaniannya.
Setelah itu Untung dan Soeharto berpisah lagi dalam
hubungan garis komando.
Presiden Soekarno menarik Untung menjadi salah satu komandan Batalyon Kawal
Istana, Cakra Bhirawa. Sedangkan Soeharto akhirnya
menjadi Pangkostrad. Namun tugas baru Untung itu
membuat Soeharto marah. Soeharto ingin merekrut Untung
masuk ke Kostrad menjadi anak-buahnya, karena ia tahu
bahwa Untung itu pemberani.Saat itu konflik Bung Karno dan PKI di satu sisi
dengan para pimpinn AD di sisi lain belum terlalu
tajam.Dalam perkembangannya, konflik Bung Karno dan
PKI dengan AD itu semakin memuncak. Konflik itu
diikuti oleh polarisasi kekuatan politik dan militer
yang semakin meningkat, sehingga dapat disimpulkan
bahwa sewaktu-waktu konflik bisa mengarah ke suatu
kondisi yang mengkhawatirkan. Sebab Bung Karno adalah
pemimpin yang kharismatik yang didukung oleh rakyat
dan sebagian besar perwira Angkatan Bersenjata,
kecuali sebagian kecil perwira AD.
Di sisi lain, PKI saat itu memiliki massa dalam jumlah sangat besar. Bisa
dibayangkan apa yang bakal terjadi jika konflik ini
semakin tajam.
saat konflik meningkat itulah justru Soeharto
bersyukur bahwa Untung menjadi salah satu komandan
Batalyon Kawal Istana Cakra Bhirawa. Kedudukan Untung
di sana menjadi titik strategis dipandang dari sisi
Soeharto yang menunggu momentum untuk merebut
kekuasaan negara.Maka hubungan Soeharto-Untung
kembali membaik, meskipun beberapa waktu sebelumnya
Soeharto sempat marah dan membenci Untung.Bukti
membaiknya hubungan itu adalah bahwa beberapa waktu
kemudian, di akhir 1964, Untung menikah di Kebumen dan
Soeharto bersama istrinya, Ny. Soehartinah (Tien)
menghadiri resepsinya di Kebumen.
Seorang komandan menghadiri pernikahan bekas anak-buah
adalah hal yang sangat wajar, memang. Tetapi jarak
antara Jakarta-Kebumen tidak dekat. Apalagi saat itu
sarana transportasi dan terutama kondisi jalan sangat
tak memadai. Jika tak benar-benar sangat penting,
tidak mungkin Soeharto bersama istrinya menghadiri
pernikahan Untung.

Langkah Soeharto mendekati Untung
ini terbaca di kalangan elite politik dan militer saat
itu, tetapi mereka hanya sekadar heran pada perhatian
Soeharto terhadap Untung yang begitu besar.
Soeharto juga membina persahabatan lama
dengan Kolonel Abdul Latief yang juga bekas
anak-buahnya di Divisi Diponegoro. Latief adalah juga
seorang tentara pemberani. Ia adalah juga seorang yang
jujur. Namun, berbeda dengan Untung, Latief
mengantongi rahasia skandal Soeharto dalam Serangan
Oemoem 1 Maret 1949 di Yogya. Dalam serangan itu
Belanda diusir dari Yogya (ketika itu ibu-kota RI)
hanya dalam waktu enam jam. Soeharto (di kemudian hari) mengklaim keberhasilan
mengusir Belanda itu atas keberaniannya. Serangan
Oemoem 1 Maret 1949 itu katanya, adalah ide dia. Soal
ini sudah diungkap di berbagai buku, bahwa serangan
tersebut adalah ide Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Soeharto adalah komandan pelaksana serangan. Namun
bagi Latief persoalan ini terlalu tinggi. Latief hanya
merupakan salah satu komandan kompi. Hanya saja
karena dia kenal Soeharto sewaktu masih sama-sama di
Kodam Diponegoro, ia dekat dengan Soeharto. Letief
tidak bicara soal ide serangan. Ia hanya bicara soal
teknis pertempuran.
Tentara kita menyerbu kota dari berbagai penjuru mulai
pukul 06.00 WIB, persis saat sirene berbunyi tanda jam
malam berakhir. Diserbu mendadak oleh kekuatan yang
begitu besar, Belanda terkejut. Perlawanan mereka sama
sekali tidak berarti bagi pasukan kita. Mereka sudah
kalah strategi, diserang mendadak dari berbagai
penjuru kota oleh pasukan yang jumlahnya demikian
banyak. Tangsi-tangsi Belanda banyak yang berhasil
direbut tentara kita. Namun Belanda sempat minta
bantuan pasukan dari kota lain. Walaupun bala bantuan
pasukan Belanda datang agak terlambat, namun mereka
memiliki persenjataan yang lebih baik dibanding
tentara kita. Mereka juga mengerahkan kendaraan lapis
baja. Pada saat itulah terjadi pertempuran hebat di
seantero Yogyakarta.
Pada scope lebih kecil, kelompok pasukan pimpinan
Latief kocar-kacir digempur serangan balik pasukan
Belanda. Dalam kondisi seperti itu Latief
memerintahkan pasukannya mundur ke Pangkalan Kuncen
sambil tetap berupaya memberikan tembakan balasan.
Setelah di garis belakang, Latief memeriksa sisa
pasukan. Ternyata tinggal 10 orang tentara. Di saat
mundur tadi sekilas diketahui 12 orang terluka dan 2
orang gugur di tempat. Mereka yang luka terpaksa
ditinggal di medan pertempuran, sehingga kemungkinan
besar juga tewas, sedangkan pemuda gerilyawan (juga di
bawah kompi Latief) yang tewas 50 orang.
Nah, saat Latief bersama sisa pasukannya berada di
garis belakang itulah mereka berjumpa Soeharto. Apa
yang sedang dilakukan Soeharto? Dia sedang santai
makan soto babat, ujar Latief. Ketika itu perang
sedang berlangsung. Ribuan tentara dan pemuda
gerilyawan tengah beradu nasib menyabung nyawa,
merebut tanah yang diduduki oleh penjajah. Toh, Latief
dengan sikap tegap prajurit melapor kepada Soeharto
tentang kondisi pasukannya. Soeharto ternyata juga
tidak berbasa-basi misalnya menawari Latief dan
anak-buahnya makan. Sebaliknya Soeharto langsung
memerintahkan Latief bersama sisa pasukannya untuk
menggempur belanda yang ada di sekitar Kuburan Kuncen,
tidak jauh dari lokasi mereka.
Belanda akhirnya berhasil diusir dari Yogyakarta dalam
tempo enam jam. Secara keseluruhan dalam pertempuran
itu pasukan kita menang, meskipun dalam scope kecil
pasukan pimpinan Latief kocar-kacir. Komandan dari
seluruh pasukan itu adalah Soeharto yang - boleh saja
- menepuk dada membanggakan keberaniannya. Bahkan
Soeharto kemudian bertindak jauh lebih berani lagi
dengan mengakui bahwa ide serangan itu dalah idenya
(yang kini terbukti tidak benar). Namun soal Soto
babat menjadi skandal tersendiri bagi figur seorang
komandan pasukan tempur di mata Latief. Dan skandal
ini diungkap oleh Latief pada saat dia diadili di
Mahkamah Militer dengan tuduhan terlibat G30S.
Setelah Serangan Oemoem 1 Maret, Soeharto-Latief pisah
kesatuan. Soeharto akhirnya menjadi Pangkostrad,
sementara Latief akhirnya menjadi Komandan Brigade
Infanteri I Jaya Sakti, Kodam Jaya. Posisi Latief
cukup strategis. Maka Soeharto kembali membina
hubungan lama dengan Latief .Latief juga
didatangi di rumahnya oleh Soeharto dan istrinya saat
Latief mengkhitankan anaknya.suatu saat nanti Latief akan dimanfaatkan
oleh Soeharto.
Jika dulu Soeharto
membentuk trio bersama Yoga Soegama dan Ali Moertopo,
kini bersama Untung dan Latief.Untung adalah orang dekat Presiden. Latief adalah
orang penting di Kodam Jaya yang menjaga keamanan
Jakarta. Targetnya jelas: menuju ke Istana.mereka bisa memperkuat apa yang sudah

dirintis oleh Nasution, yakni: menciptakan Negara dalam Negara.
Sebab konflik antara Bung Karno dan AD sudah semakin
tajam.

Soeharto juga dekat dengan
Brigjen Soepardjo (berasal dari Divisi Siliwangi yang
kemudian ditarik Soeharto ke Kostrad menjabat
PangKopur II).Pertengahan September 1965 Latief menemui Soeharto. Inilah
pertemuan pemting pertama antara Soeharto dan Latief
menjelang G30S. Latief melaporkan isu
tersebut kepada Soeharto. Ternyata Soeharto menyatakan
bahwa ia sudah tahu.Pada saat yang hampir bersamaan, pada 15 September
1965 Untung mendatangi Soeharto. Untung juga
melaporkan adanya Dewan Jenderal yang akan melakukan
kup. Berbeda dengan Latief, Untung menyatakan bahwa ia
punya rencana akan mendahului gerakan Dewan Jenderal
dengan menangkap mereka lebih dulu, sebelum mereka
melakukan kudeta. Untung memang merupakan pembantu
setia Bung Karno. Dalam posisinya sebagai salah satu
komandan Pasukan Kawal Istana Cakra Bhirawa, sikapnya
sudah benar.

apa jawab Soeharto? Bagus kalau kamu punya rencana
begitu. Sikat saja, jangan ragu-ragu, kata Soeharto.
Malah Soeharto menawarkan bantuan pasukan kepada
Untung:Untung gembira mendapat dukungan. Ia menerima tawaran
bantuan tersebut. Dan Soeherto juga tidak main-main:
Baik. Dalam waktu secepatnya akan saya datangkan
pasukan dari Jawa Timur dan Jawa Tengah, katanya.
Harap dicatat: pertemuan Soeharto dengan Latief tidak
berkaitan dengan pertemuan Soeharto dengan Untung.

Pada awalnya hubungan Soeharto-Untung terpisah dari
hubungan Soeharto-Latief dalam hal Dewan Jenderal.
Namun mereka sama-sama dari Kodam Diponegoro. Hubungan
Untung-Latief juga terjalin baik meskipun sudah
berpisah kesatuan. Akhirnya mereka tahu bahwa Soeharto
mendukung gerakan menangkap Dewan Jenderal.
Beberapa hari sebelum 1 Oktober 1965, atas perintah Soeharto
didatangkan beberapa batalyon pasukan dari Semarang,
Surabaya dan Bandung. Perintahnya berbunyi: Pasukan
harus tiba di Jakarta dengan perlengkapan tempur
Siaga-I. Lantas secara bertahap pasukan tiba di
Jakarta sejak 26 September 1965. Jelas, pasukan ini
didatangkan khusus untuk menggempur Dewan Jenderal.
Setelah G30S meletus dan Soeharto balik menggempur
pelakunya, lantas ia menuduh gerakan itu didalangi
PKI. Soeharto membuat aneka cerita bohong. Soal
kedatangan pasukan dari Bandung, Semarang dan Surabaya
itu dikatakan untuk persiapan upacara Hari ABRI 5
Oktober.Rombongan pasukan tiba di Jakarta sejak 26 September
1965 dengan persiapan tempur Siaga-I. Ini jelas tidak
masuk akal jika dikaitkan dengan Hari ABRI.
Pertemuan penting kedua Soeharto-Latief terjadi dua
hari menjelang 1 Oktober 1965. Pertemuan dilakukan di
rumah Soeharto di Jalan H Agus Salim.ketika itu ia melaporkan kepada Soeharto
bahwa Dewan Jenderal akan melakukan kudeta terhadap
Presiden. Dan Dewan Jenderal akan diculik oleh Pasukan
Cakra Bhirawa. Apa reaksi Soeharto? Dia tidak
bereaksi.
Pertemuan terakhir Soeharto-Latief terjadi persis pada
tanggal 30 September 1965 malam hari pukul 23.00 WIB
di RSPAD Gatot Subroto. Saat itu Soeharto menunggu
anaknya Hutomo Mandala Putera (Tommy Soeharto) yang
ketumpahan sup panas dan dirawat di sana. Kali ini
Latief melaporkan penculikan para jenderal akan
dilaksanakan pukul 04.00 WIB (sekitar lima jam
kemudian). Kali ini juga tidak ditanggapi oleh
Soeharto.Sebenarnya yang akan melapor kepada Soeharto saat itu
tiga orang, yakni Latief, Brigjen Soepardjo dan Letkol
Untung. Sebelum Latief menghadap Soeharto, Latief
lebih dulu bertemu dengan Soepardjo dan Untung.
Setelah Latief bertemu Soeharto, ia lantas kembali
menemui Soepardjo dan Untung yang menunggu di suatu
tempat. Latief dengan wajah berseri-seri melaporkan
kepada teman-temannya bahwa Soeharto berada di
belakang mereka.
Pada sekitar pukul 01.00 WIB 1 Oktober
1965, kata Latief kepada Soepardjo dan Untung:
Soeharto berada di belakang mereka.
Beberapa jam kemudian pasukan bergerak mengambil para
jenderal.

Menurut pengakuan Soeharto, menjelang dini hari 1
Oktober 1965 ia meninggalkan anaknya di RSPAD Gatot
Subroto dan pulang ke rumahnya di Jalan H Agus Salim.
Menurutnya, saat meninggalkan RSPAD itu ia sendirian
(tanpa pengawal) dengan mengendarai jeep Toyota. Dari
RSPAD mobilnya melewati depan Makostrad, lantas masuk
ke Jalan Merdeka Timur. Ia mengaku di sana sempat
merasakan suasana yang tidak biasa. Di sekitar Jalan
Merdeka Timur berkumpul banyak pasukan, tetapi
Soeharto terus berlalu dan tidak menghiraukan puluhan
pasukan yang berkumpul di Monas.
Setelah itu Soeharto mengaku pulang ke rumah dan tidur
(ini dikatakan Soeharto di beberapa kesempatan
terbuka). Lantas pagi harinya pukul 05.30 WIB dia
mengaku dibangunkan oleh seorang tetangganya dan
diberitahu bahwa baru saja terjadi penculikan terhadap
para jenderal. Setelah itu saya langsung menuju ke
markas Kostrad, kata Soeharto.
Pengakuan Soeharto itu luar biasa aneh:
1. di saat Jakarta dalam kondisi sangat tegang ia
menyetir mobil sendirian, tanpa pengawal. Jangankan
dalam situasi seperti itu, dalam kondisi biasa saja ia
selalu dikawal.
2. ia melewati Jalan Merdeka Timur dan mengaku
melihat puluhan prajurit berkumpul dan merasakan
sesuatu yang tidak biasa, tetapi tidak dia hiraukan.
Sebagai seorang komandan pasukan, tidakkah dia ingin
tahu apa yang akan dilakukan oleh puluhan prajurit
yang berkumpul pada tengah malam seperti itu?
3. pada pagi hari 1 Oktober 1965 pukul 05.30 WIB
siapa yang bisa mengetahui bahwa baru saja terjadi
penculikan terhadap para jenderal? Saat itu belum ada
berita televisi seperti sekarang (semisal Liputan 6
Pagi SCTV) yang dengan cepat bisa memberitakan suatu
kejadian beberapa jam sebelumnya. Radio RRI saja baru
memberitakan peristiwa itu pada pukul 07.00 WIB.

Yang sebenarnya terjadi:
Soeharto sudah tahu bahwa pasukan yang berkumpul di
dekat Monas itu akan bergerak mengambil para anggota
Dewan Jenderal. Toh dia sendiri yang mendatangkan
sebagian besar (kira-kira dua-pertiga) pasukan
tersebut dari Surabaya, Semarang dan Bandung. Ingat:
Soeharto menawarkan bantuan pasukan yang diterima
dengan senang hati oleh Untung.
Pasukan dari daerah dengan perlengkapan tempur Siaga-I
itu bergabung dengan Pasukan Kawal Istana Cakra
Bhirawa pimpinan Untung. Mereka berkumpul di dekat
Monas. Selain itu, beberapa jam sebelumnya Soeharto
menerima laporan dari Latief bahwa pasukan sudah dalam
keadaan siap mengambil para jenderal. Maka wajar saja
tengah malam itu Soeharto mengendarai jeep sendirian,
meskipun Jakarta dalam kondisi sangat tegang. Malah
ia dengan tenangnya melewati tempat berkumpulnya
pasukan yang beberapa saat lagi berangkat membunuh
para jenderal. Bagi Soeharto tidak ada yang perlu
ditakutkan.
Ia justru melakukan kesalahan fatal dengan mengatakan
kepada publik bahwa ia sempat melihat sekelompok
pasukan berkumpul di dekat Monas dan ia membiarkan
saja. Jika ia memposisikan diri sebagai orang yang
tidak tahu rencana pembunuhan para jenderal, mestinya
ia tidak menyatakan seperti itu dalam buku biografinya
dan di berbagai kesempatan terbuka.
Yang sebenarnya terjadi adalah bahwa tengah malam itu
ia tidak pulang ke rumah seperti ditulis dalam buku
biografinya. Yang benar: setelah melewati Jalan
Merdeka Timur dan melihat persiapan sekumpulan
pasukan, ia lantas menuju ke Markas Kostrad. Di
Makostrad ia memberi pengarahan kepada sejumlah
pasukan bayangan dan operasi Kostrad yang mendukung
gerakan pengambilan para jenderal. Dengan kronologi
yang sebenarnya ini, maka seharusnya tidak perlu ada
cerita Soeharto pulang ke rumah lantas tidur.
Dengan pengakuannya itu Soeharto rupanya ingin
menunjukkan seolah-olah ia jujur dengan mengatakan
bahwa pada dini hari 1 Oktober 1965 ia memang berada
di Makostrad. Tapi prosesnya dari RSPAD, pulang dulu,
lantas tidur, dibangunkan tetangga dan diberitahu ada
penculikan pukul 05.30 WIB, baru kemudian berangkat ke
Makostrad.
Kalau Soeharto memposisikan diri sebagai orang yang
tidak bersalah dalam G30S, maka pengakuannya itu
merupakan kesalahan yang sangat fatal. Sebab tidak
mungkin ada orang yang tinggal di Jalan H Agus Salim
(tetangga Soeharto) mengetahui ada penculikan para
jenderal dan membangunkan tidur Soeharto pada pukul
05.30 WIB. Padahal penculikan dan pembunuhan para
jenderal baru terjadi beberapa menit sebelumnya,
sekitar pukul 04.00 WIB.

Satu pertanyaan sangat penting dari tragedi pagi buta
1 Oktober 1965 adalah mengapa para jenderal itu tidak
dihadapkan kepada Presiden Soekarno. Logikanya jika
anggota Dewan Jenderal diisukan akan melakukan kudeta,
mestinya dihadapkan ke Presiden Soekarno untuk diminta
penjelasannya tentang isu rencana kudeta. Masalahnya
tentu bakal menjadi lain jika para jenderal tidak
dibunuh, tetapi diajukan kepada Presiden untuk
konfirmasi.
Namun G30S sebagai suatu kekuatan sebenarnya sudah
ditentukan jauh sebelum peristiwanya meletus. Dari
perspektif Soeharto, masa hidup gerakan ini tidak
ditentukan oleh kekuatannya melainkan oleh masa
kegunaannya. Setelah para jenderal dibantai, maka
habislah masa kegunaan G30S. Dan sejak itu pula masa
hidupnya harus diakhiri. Meskipun Untung, Latief dan
Soepardjo berupaya ingin mempertahankan kelanggengan
G30S, tetapi umurnya hanya beberapa jam saja. Setelah
itu pelakunya diburu dan dihabisi. Soeharto dengan
melikuidasi G30S menimbulkan kesan bahwa ia setia
kepada atasannya, Yani dan teman-teman jenderal yang
dibunuh. Ia tampil sebagai pahlawan.

Soal Mengapa Dewan Jenderal diculik, bukan dihadapkan
ke Presiden, ada pengakuan dari salah satu pelaku
penculikan. Menurut Serma Boengkoes (Komandan Peleton
Kompi C Batalyon Kawal Kehormatan) yang memimpin
prajurit penjemput Mayjen MT Haryono, di militer tidak
ada perintah culik. Yang ada adalah tangkap atau
hancurkan. Perintah yang saya terima dari Komandan
Resimen Cakra Bhirawa Tawur dan Komandan Batalyon
Untung adalah tangkap para jenderal itu, kata
Boengkoes setelah ia bebas dari hukuman.
Namun MT Haryono terpaksa dibunuh sebab rombongan
pasukan tidak diperbolehkan masuk rumah oleh istri MT
Haryono. Sang istri curiga, suaminya dipanggil
Presiden kok dini hari. Karena itu pintu rumah
tersebut didobrak dan MT Haryono tertembak. Tidak
jelas apakah Haryono langsung tewas di tempat atau
dibunuh kemudian setelah semua jenderal dikumpulkan di
Pondok Gede (Lubang Buaya).
Sedangkan saat dijemput oleh sejumlah pasukan di
rumahnya, Letjen A Yani terkejut. Bukan karena
penjemputnya pasukan berseragam loreng, tetapi karena
pada hari itu ia memang dijadwalkan untuk menghadap
Presiden Soekarno di Istana Merdeka, pada pukul 08.00
WIB. Presiden sedianya akan bertanya kepada Yani soal
Angkatan Kelima. Yani menolak ide Presiden tentang
Angkatan Kelima sejak beberapa waktu sebelumnya. Malah
sudah beredar isu bahwa Yani akan digantikan oleh
wakilnya yaitu Gatot Subroto.
Dengan dijemput tentara dini hari mungkin Yani merasa
pertemuan dengan Presiden Soekarno diajukan beberapa
jam. Ia dibangunkan dari tidurnya oleh istrinya dan
masih mengenakan piyama. Meskipun kedatangan tentara
penjemputnya menimbulkan kegaduhan di keluarga Yani
yang terkejut, namun Yani menurut. Ia menyatakan
kepada penjemputnya akan ganti pakaian. Tetapi ketika
tentara penjemputnya menyatakan Tidak perlu ganti
baju, jenderal, maka seketika Yani menempeleng tentara
tersebut. Perkataan prajurit seperti itu terhadap
jenderal memang sudah luar biasa tidak sopan. Lantas
Yani masuk ke kamar untuk ganti pakaian. Yani
diberondong tembakan.
eristiwa berdarah di pagi buta pada
tanggal 1 Oktober 1965 (G30S) itu sampai kini masih
ditafsirkan secara berbeda-beda, baik di dalam maupun
di luar negeri. Tetapi jelas substansi peristiwa itu
tidak seperti mitos yang dibuat AD yakni percobaan
kudeta yang didalangi oleh PKI. Versi AD ini sama
sekali tidak benar. Peristiwa itu merupakan provokasi
yang didalangi oleh jenderal-jenderal fasis AD
didukung dengan baik oleh imperialisme internasional.

Peristiwa itu adalah provokasi yang dimanipulasi
secara licik dan efektif serta dikelola secara
maksimal oleh seorang fasis berbaju kehalusan feodal
Jawa yang haus kekuasaan dan harta. Dialah Panglima
Kostrad Mayjen Soeharto.
peristiwa itu bukan hanya merupakan
puncak manifestasi konflik antara pimpinan AD dan PKI,
tetapi juga pertentangan antara pemimpin politik
konservatif dengan aspirasi kapitalisme yang
pembangunannya bergantung pada imperialisme
internasional di satu fihak, melawan PKI dengan
prinsip politik anti-imperialisme dengan aspirasi
negara yang merdeka penuh dan demokrasi berkeadilan
sosial di pihak lain.
Peristiwa itu adalah puncak kemunafikan para pemimpin
politik konsevatif yang mengklaim sebagai paling
demokrat dari sistim demokrasi parlementer. Mereka
berhadapan dengan kemajuan-kemajuan pesat PKI yang
dicapai secara damai dalam sistim demokrasi liberal.
Dari konflik tersebut para pimpinan AD dan sekutunya
lantas mencabut hak hidup PKI dengan cara mambantai
anggota dan keluarganya, lantas membubarkan PKI.


Sekitar pukul 14.00 WIB - masih pada 1 Oktober 1965 -
kepada Kapten Kuntjoro (ajudan Komandan Cakra bhirawa
Letkol Marokeh) Soeharto menyatakan bahwa ia adalah
anggota Dewan Jenderal. Saat itu pembunuhan terhadap
para jenderal sudah selesai. Nasution yang lolos dari
target penculikan sedang diamankan di Markas Kostrad.
Saya berkesimpulan Soeharto berani mengatakan bahwa
dirinya adalah anggota Dewan Jenderal setelah ia yakin
bahwa posisinya aman, sehingga tidak perlu lagi
menutupi wajahnya. Kepada Kapten Kuntjoro Soeharto
mengatakan: Dewan Jenderal memang ada. Saya termasuk
anggotanya. Tapi itu dewan untuk mengurus kepangkatan,
bukan untuk kudeta.

Pernyataan Soeharto ini menunjukkan betapa Soeharto
berdiri di dua sisi. Ketika Untung menyatakan akan
menghabisi Dewan Jenderal, Soeharto mendukung, bahkan
membantu pasukan. Setelah Dewan Jenderal dihabisi ia
menyatakan bahwa ia adalah anggota Dewan Jenderal.
Namun pada hari itu (Jumat 1 Oktober 1965) kondisi
negara benar-benar tidak menentu. Berbagai pihak
saling memanfaatkan situasi. Pengumuman pertama
tentang penculikan para jenderal melalui RRI disiarkan
oleh Untung. Intinya diumumkan bahwa kelompok Dewan
Jenderal yang akan melakukan kudeta sudah digagalkan.
Anggota Dewan Jenderal sudah diculik dan Presiden
Soekarno dalam keadaan aman. Untuk sementara
pemerintahan dikendalikan oleh Dewan Revolusi. Maka
diumumkan anggota Dewan Revolusi. Di sana tidak ada
nama Soekarno.
Pengumuman demi pengumuman terus berkumandang di
radio. Setelah Untung beberapa kali menyampaikan
pengumuman, lalu disusul oleh Oemar Dhani. Masyarakat
bingung. Sekitar pukul 21.00 WIB Soeharto berpidato
di radio dan mengumumkan bahwa pagi hari itu telah
terjadi penculikan terhadap sejumlah perwira tinggi
oleh kelompok pimpinan Untung. Tindakan tersebut
adalah kudeta kontra-revolusioner melawan Presiden
Soekarno. Juga diumumkan bahwa Soeharto mengambil
kendali AD (Menpangad) karena Menpangad A Yani
diculik.
Perubahan demi perubahan dalam sehari itu benar-benar
membingungkan Bung Karno. Ia tidak tahu apa yang
sesungguhnya terjadi. Ia tidak tahu siapa sedang
berperang melawan siapa, karena ia tidak tahu rencana
penculikan Dewan Jenderal. Bung Karno juga heran
dengan pengumuman Soeharto mengambil-alih kendali AD.
Padahal beberapa jam sebelumnya (siang hari) Bung
Karno sudah memutuskan untuk mengambil-alih fungsi dan
tugas-tugas Menpangad serta menunjuk Mayjen Pranoto
Rekso sebagai pelaksana sehari-hari (care-taker)
Menpangad.
Esoknya, 2 Oktober 1965 Soeharto didampingi oleh Yoga
Soegama dan anggota kelompok bayangannya mendatangi
Bung Karno di Istana Bogor. Soeharto bersama rombongan
mengenakan pakaian loreng dan bersenjata masuk Istana.
Kedatangan Soeharto ini tidak pernah disebut dalam buku-buku sejarah atau buku
kesaksian pelaku sejarah.

Intinya, Soeharto
menyatakan tidak setuju terhadap pengangkatan Mayjen
Pranoto untuk memegang pelaksana komando AD. Selain
protes, Soeharto juga meminta agar Bung Karno
memberikan kuasa kepada Soeharto untuk memulihkan
keamanan. Juga meminta Presiden mengambil tindakan
terhadap pimpinan AU yang diduga terlibat dalam G30S.
Karena persoalan cukup rumit Bung Karno menunda
pembicaraan dan memanggil para panglima AU, AL,
Kepolisian, Mayjen Pranoto dan Mayjen Mursid. Setelah
mereka berkumpul baru diadakan rapat bersama Soeharto
untuk membahas semua tuntutan Soeharto itu. Rapat
berlangsung alot sekitar lima jam. Akhirnya Bung Karno
memberi surat kuasa kepada Soeharto untuk memulihkan
keamanan (sebagai Panglima Pemulihan Keamanan).
Inilah awal Soeharto memetik kemenangan dari rangkaian
proses kudeta merangkak itu.
Surat kuasa yang diterima oleh Soeharto saat itu juga
merupakan surat kuasa pertama. Namun ini tidak pernah
disebut dalam sejarah. Mungin kalau disebut dalam
sejarah akan terasa aneh. Presiden adalah Panglima
Tertinggi ABRI yang pegang kendali militer. Pembunuhan
para jenderal baru terjadi sehari sebelumnya. Itu pun
beberapa jam kemudian Presiden sudah mengeluarkan
instruksi untuk ABRI. Ini menunjukkan bahwa Presiden
masih memegang kendali militer. Bahkan Presiden sudah
mengambil-alih tugas Menpangad karena Menpangad Yani
diculik. Maka kedatangan Soeharto minta surat kuasa
untuk memulihkan keamanan, apa namanya kalau bukan
memotong kewenangan Presiden?
proses keluarnya surat
kuasa itu sangat alot. Dalam rapat Soeharto menekan
Soekarno. Tetapi kalau kita kembali mengingat bahwa
sehari sbelumnya Soeharto melalui RRI sudah menyatakan
mengambil-alih pimpinan AD, maka wajar bahwa surat
kuasa itu dikeluarkan. Sebelum surat kuasa dikeluarkan
saja Soeharto sudah berani mengambil-alih pimpinan AD.
Sebelum Soeharto dan kelompok bayangannya meninggalkan
Istana Bogor, Soeharto menyatakan agar Presiden tidak
meninggalkan Istana Bogor demi keamanan. Sejak itu
Presiden Soekarno sudah menjadi tawanan Soeharto.

Hebatnya, beberapa waktu kemudian Soeharto membantah
menerima surat kuasa dari Presiden. Dia menyatakan
kurang lebih demikian: Dalam kehidupan militer tidak
mungkin ada dua panglima (dia dan Mayjen Pranoto yang
sudah ditunjuk oleh Presiden menjadi caretaker
Menpangad) yang ditunjuk dalam waktu bersamaan. Maka
praktis pengangkatan terhadap mayjen Pranoto sebagai
caretaker Menpangad tidak berjalan sama sekali.
Inilah awal kudeta terselubung itu. Sejak itu
sebenarnya Bung Karno sudah tidak lagi memiliki power
untuk memimpin negara.
Esoknya pembantaian terhadap anggota PKI dan
keluarganya dimulai. PKI dituduh menjadi dalang G30S.
Sejak itu Indonesia banjir darah. Yang digempur bukan
hanya tokoh-tokoh PKI, tetapi semua yang berbau PKI
dibantai tanpa proses hukum. Di kota, desa, dusun, di
berbagai sudut negeri dilakukan pembantaian
besar-besaran, suatu tindakan yang sangat mengerikan.
Pembantaian PKI dimulai beberapa saat setelah Presiden
Soekarno mengumumkan (3 Oktober 1965) Pangkostrad
Mayjen Soeharto dipercaya sebagai pelaksana Komando
Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib).
Pada tanggal 16 Oktober 1965 Presiden Soekarno
mengangkat Soeharto menjadi Menpangad, menggantikan A
Yani. Lantas pada akhir Oktober 1965 di rumah Menteri
Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan Brigjen Syarif
Thayeb, atas perintah Soeharto dibentuklah Kesatuan
Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Inilah embrio gerakan
mahasiswa yang didukung oleh tentara. KAMI lantas
sering berdemo dengan didukung oleh pasukan RPKAD dan
Kostrad.

Drama 1 Oktober 1965 dalam sekali pukul menghasilkan
keuntungan bagi Soeharto:
1. Mengubah kenyataan adanya komplotan Dewan
Jenderal, di mana Soeharto merupakan salah satu
anggotanya, menjadi semacam fiksi belaka.
2. Sebaliknya mengubah fiksi menjadi nyata bahwa
yang sungguh-sungguh melakukan kudeta bukanlah Dewan
Jenderal, melainkan G30S pimpinan Untung (yang
sebenarnya disokong oleh Soeharto).
3. Melikuidasi kelompok Yani sebagai rival
potensial Soeharto.
4. Membuka peluang Soeharto tampil sebagai
pahlawan yang akhirnya benar-benar terwujud.

proses kudeta merangkak belum berakhir.
Manuver Soeharto merebut kekuasaan tertinggi ada empat
tahap:
1. menyingkirkan saingan beratnya sesama perwira
tertinggi.
2. Menghabisi PKI, partai besar yang akrab dengan
Bung Karno
3. Melumpuhkan para menteri pembantu presiden
4. Melumpuhkan Bung Karno.

Mengapa harus empat tahap? Jawabnya adalah bahwa
sebelum G30S Soeharto bukan perwira yang
diperhitungkan. Karena selain pangkatnya masih Mayjen,
ia juga pernah memiliki cacat saat menyelundupkan
barang di Jateng sehingga untuk mencapai pimpinan
puncak ia harus melewati proses panjang.
Untuk mengimbangi - lebih tepat melumpuhkan -
sisa-sisa kekuatan Bung Karno, Soeharto mengerahkan
mahasiswa. Seperti disebut di bagian terdahulu, pada
akhir Oktober 1965 di rumah Brigjen Sjarif Thajeb,
atas perintah Soeharto dibentuk KAMI. Nah, sejak itu
demo mahasiswa didukung oleh tentara terus bergerak
mengkritik Presiden Soekarno. Saat itulah muncul
slogan Tritura (tri atau tiga tuntutan rakyat):
1. bubarkan PKI
2. bersihkan anggota kabinet dari unsur-unsur PKI
3. turunkan harga kebutuhan pokok.
Bung Karno - yang masih menjabat sebagai presiden -
lantas membubarkan KAMI. Tetapi setelah KAMI bubar
muncul kelompok sejenis berganti nama menjadi KAPPI
(Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia).
Tujuannya tetap sama: berdemo mengkritik Presiden
Soekarno. Dan karena demo itu didukung oleh tentara
tentu saja para pemuda dan mahasiswa berani
Sementara itu harga kebutuhan pokok rakyat memang
melambung tinggi. Saya tahu persis melonjaknya harga
itu terjadi karena rekayasa Soeharto. Tepatnya
Soeharto dibantu oleh dua pengusaha Cina: Liem Sioe
Liong (dulu bekerjasama menyelundupkan barang) dan Bob
Hasan (juga teman Soeharto sewaktu di Jawa Tengah).
Itu dilakukan di tenggang waktu antara Oktober 1965
sampai Maret 1966. Akibat selanjutnya: inflasi
melambung sampai 600%, defisit anggaran belanja negara
semakin parah sampai 300%. Rakyat tercekik. Untuk
membeli beras, gula dan minyak orang harus antri.
Tentang hubungan bisnis Soeharto dengan Liem Sioe
Liong dan Bob Hasan di Jateng yang paling tahu adalah
Mayjen Pranoto. Saat Soeharto sebagai Panglima Divisi
Diponegoro, Pranoto adalah kepala stafnya. Pranoto
sudah sangat jengkel pada Soeharto perihal bisnis
memanfaatkan jabatan yang dilakukan Soeharto, dibantu
Liem Sioe Liong dan Bob Hasan.
ulah Soeharto dan Liem menyelundupkan
barang dulu dibongkar oleh Pranoto sehingga akhirnya
diketahui Menpangad Yani, sampai-sampai Yani
menempeleng Soeharto. Jadi tindakan Soeharto menjegal
Pranoto yang diangkat oleh Presiden Soekarno menjadi
caretaker Menpangad (1 Oktober 1965) bukan semata-mata
perebutan jabatan (dengan cara kotor) tetapi juga ada
faktor dendam pribadinya.

Namun gerakan mahasiswa ternyata ditanggapi Bung
Karno. Pada 15 Januari 1966 dalam
Sidang Kabinet Presiden Soekarno berpidato menjawab
Tritura yang dikobarkan oleh
mahasiswa. Menurut Presiden Soekarno Tritura adalah
hasil rekayasa TNI AD.
cuplikan pidato Soekarno yang sebagian sempatdr.soebandrio
catat. Bunyinya demikian: Saya
tidak akan mundur sejengkal pun. Saya tetap Pemimpin
Besar Revolusi. Maka saya tidak
dapat bicara lain. Ayo .Siapa yang membutuhkan
Soekarno, setuju dengan Soekarno
sebagai Pemimpin Besar Revolusi, maka satukan seluruh
kekuatanmu. Pertahankan
Soekarno. Berdirilah di belakang Soekarno. Tunggu
komando
Inilah pernyataan Bung Karno di depan publik yang
paling keras. Dengan pidato Bung Karno yang
berapi-api, semua pihak menjadi cemas. Bung Karno
masih punya pendukung, termasuk dari Angkatan
Bersenjata. Para menterinya masih lengkap. Jabatannya
masih Presiden RI. Maka semua pihak khawatir Indonesia
bakal memasuki pergolakan sangat hebat dalam waktu
dekat dan bakal terjadi pertumpahan darah yang jauh
lebih besar dari G30S.
Pada tanggal 20 Januari 1966 para menteri berkumpul di
Istana. Mereka menyatakan sepakat menjadi bagian
paling depan dari pendukung Soekarno. Itu merupakan
bagian dari upaya pendukung Soekarno untuk come back,
walaupun secara formal Soekarno masih Presiden-RI, pun
secara formal pendukung terdepan masih Menteri Negara.
Namun Bung Karno tidak melakukan follow-up, tidak ada
tindak-lanjut dari pidatonya yang keras itu. Tidak ada
perintah apa pun meski ia tahu pendukungnya sudah siap
membela. Para pendukungnya pun tidak bergerak sebab
dalam pidatonya Bung Karno antara lain menyerukan:
tunggu komando Seruan ini ditaati para pendukungnya.
Dan komando ternyata tidak juga kunjung datang.
Seandainya komando benar-benar diserukan, saya tidak
bisa membayangkan bagaimana jadinya Indonesia.

sumber

http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/2002-October/000409.html



Admin 23 May, 2011


--
Source: http://krisnahomerecord.blogspot.com/2011/05/sejarah-peristiwa-g30spki-versi.html
~
Manage subscription | Powered by rssforward.com



Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

0 komentar to “SEJARAH PERISTIWA G30S/PKI VERSI DR.SOEBANDRIO”

SPONSOR

STATISTIC

 

Copyright © 2009 by Bola80

Template by Blogger Templates | Powered by Blogger