Header Ad Banner

ads

Minggu, 06 November 2011

'Makna Kasih Sayang Dibalik Perayaan Hari Raya Idul Adha'



Menjelang beberapa saat lagi umat Islam akan merayakan Idul Adha yang identik dengan ibadah Haji. Harapan bagi mereka yang mengerjakan rukun Islam ke-lima tersebut adalah menjadi haji mabrur yang ditandai dengan peningkatan iman dan ketakwaan kepada sang pencipta yakni Allah SWT. Idul Adha yang menurut definisi istilah adalah udhhiyyah, idhhiyah, dhahiyyah, dhihiyyah, adhha, idhhat dan dhahiyyah, yang berarti hewan yang disembelih dengan tujuan taqarrub (pendekatan) kepada Tuhan pada hari Idul Adha sampai akhir hari-hari Tasyriq. Diambil dari kata dhahwah disebutkan bahwa waktu pelaksanaan penyembelihan yaitu dhuha (Lisanul Arab 19:211, Mu'jam Al Wasith 1:537). Dalam kesempatan ini penulis tidak akan membahas mendetail tentang teknis pelaksaan Idul Qurban tersebut, namun lebih pada penggalian esensi makna cinta yang terkandung didalamnya.

Bagi sebagian orang awam terkesan bahwa Idul Adha adalah hanyalah lebarannya 'orang berduit' saja. Perayaannya yang dikaitkan dengan ibadah haji dan qurban bagi orang yang mampu menimbulkan bias dalam penafsiran makna yang sesungguhnya untuk Idul Adha tersebut. Karena masyarakat Indonesia bersifat kolektifistik sehingga hal ini menyebabkan mereka sangat gemar menggunakan simbol-simbol lambang untuk menafsirkan suatu peristiwa. Penciptaan simbol-simbol yang akhirnya akan menimbulkan stereotipe ini biasanya mengakar erat dalam pola pandang dan berpikir mereka. Kesalahan penafsiran makna inilah yang sangat ditakutkan akan menciptakan bencana dan kerugian bagi umat manusia selanjutnya. Oleh karenanya tidaklah salah bila kita berupaya kembali menggali makna nilai-nilai sebenarnya yang ada dalam Idul Qurban tersebut dikaitkan dengan kondisi aktual saat ini.

Bencana demi bencana telah mendera bangsa Indonesia, mulai dari krisis ekonomi, banjir, kelaparan dan kemiskinan. Dalam hal ini tetap saja yang menderita adalah mereka yang hidupnya serba kekurangan atau miskin. Seolah-olah bencana tidak pernah ada henti-hentinya dan mereka harus terus menikmati ritme bencana yang akhirnya akan membuat mereka semakin apriori terhadap lingkungan. Perasaan arogan terhadap lingkungan dan kebencian terhadap kaum ada (orang kaya) dalam diri mereka membuat sekat-sekat untuk anti berhubungan dengan mereka yang dianggap kaum aristokrat. Begitu juga dengan golongan yang kaya dan berada, mereka akan semakin anti dan 'jijik' berhubungan dengan orang-orang miskin. Hubungan antara kedua golongan ini yang ada selama ini hanyalah pada sebuah kotak yang bernama kotak amal atau pundi-pundi sumbangan. Bagi orang-orang kaya, tinggal memasukkan sejumlah uang ke dalam kotak atau rekening, selesai sudah hubungan mereka dengan mereka. Tak peduli apakah dana tersebut cukup, lebih, kurang tersampaikan dan sebagainya. Bagi mereka kesemua barometer tersebut hanyalah sebuah angka permainan manajemennya saja. Gejala-gejala seperti itulah yang terjadi saat ini di setiap lapisan dan golongan di masyarakat. Konflik demi konflik diselesaikan bukan pada posisi tatap muka, tapi lebih pada penyelesaian tatap muka pada lambang-lambang simbol yang ada.

Terlepas dari itu semua, sepertinya ada kesan mendalam yang disisipkan-Nya dalam kejadian-kejadian peristiwa bencana alam di atas, yaitu mau beramal shalih dan berqurban. Hari raya Qurban itu sendiri adalah untuk memperingati Nabi Ibrahim As yang menebus putranya dengan sembelihan yang agung. Dalam kilasan peristiwa tersebut seolah-olah kita diingatkan untuk mau bersikap seperti Nabi Ibrahim yang rela mengorbankan harta satu-satunya, yakni putranya sendiri Ismail kepada Allah SWT, meski di akhir kisahnya ia digantikan dengan seekor libas gemuk dan dagingnya dibagi-bagikan kepada kaum miskin. Mencintai Allah SWT itulah inti dari rentetan cobaan di atas. Konsepsi dasarnya adalah mencintai Allah SWT yang diwujudkan dengan mencintai sesama manusia. Makna berkurban tidaklah harus dengan membeli hewan ternak saja, namun lebih luas dalam segala hal yang kita miliki. Mulai dari perhatian, cinta kasih, kesabaran, tenaga, pemikiran dan lain-lain. Bagi para orang kaya berkurban mungkin berarti membagi harta, bagi kaum cendikia membagi sumbang saran dan pemikiran, bagi pemilik kekuasaan adalah perbaikan kebijakan bagi kemaslahatan umat, sedang bagi yang emosional adalah kesabaran. Maka jelas miskin di sini dalam arti luas, bukan miskin harta saja, tetapi lebih pada miskin hati, perasaan, kepekaan dan lain-lain.

Bagi umat Islam yang berkecukupan dan mampu untuk melaksanakan kurban adalah hukumnya wajib. Melakukan penyembelihan di waktu pagi pada hari raya Idul Adha dan harus dihadiri atau disaksikan semua umat memiliki arti tersendiri. Seolah-olah melalui Idul Qurban dihancurkan hubungan perlambang simbol antara dua golongan kaya dengan si miskin. Dalam kondisi tersebut mereka akan dapat bertatap muka satu sama dengan yang lain. Berhubungan hanya melalui sebuah kotak amal bagi orang kaya dan mi instan atau nasi bungkus bagi orang miskin tidak terjadi lagi. Utamanya dengan adanya ruang bertemu dan bertatap muka tersebut akan muncul rasa cinta dan kasih sayang antara dua golongan tersebut. Saling percaya dan berbagi rasa akan semakin mengikis kearoganan, keapatisan yang tumbuh selama ini dalam ruang batin mereka.

Kasih sayang dan cinta kasih sesama adalah bentuk pengorbanan yang paling utama dalam hal ini. Mungkin bila diukur nilainya lebih besar daripada apapun bagi kaum miskin dan tertindas saat ini. Beberapa kali terlihat, bagi mereka yang terkena bencana banjir di Jakarta saat ini sangatlah haus rangkulan kasih sayang, bukan hanya dalam bentuk harta tapi perhatian dan kepedulian. Sumbangan tersebut bagi mereka akan terasa lebih indah dan berarti bila ditambah dengan bantuan harta tentunya. Dengan adanya tali kasih dan cinta sesama yang ditebar dalam perayaan Idul Adha akan menciptakan nuansa-nuansa baru dalam kehidupan bermasyarakat. Dimana tidak ada lagi permusuhan, kebencian, dan perasaan tertindas. Mereka akan merasa dalam satu posisi yang sama. Bila diibaratkan mereka akan merasa dalam satu kapal yang sama dengan dinahkodai oleh orang-orang dari kaumnya.

Perasaan tersebut akan menimbulkan kepercayaan dalam hidup berbangsa dan bernegara, sehingga tidak akan ada ketidakpuasan dan konflik-konflik batin seputar masalah tersebut yang digunakan oknum-oknum tertentu untuk kendaraan politiknya. Dalam hal ini jelas telah tercipta pendewasaan sikap masyarakat lewat penanaman kasih sayang yang dalam. Diakui penulis, bahwa sampai saat ini sudah terlihat begitu besar kepedulian masyarakat satu dengan yang lain. Hal ini terlihat dengan bahu membahunya masyarakat kita membantu sebagian mereka yang terkena bencana. Telah ada pendobrakan nilai-nilai individulis dalam diri masyarakat beberapa waktu yang lalu. Dalam kesempatan ini sepertinya ada ajakan moral yang tersirat dalam Idul Adha ini untuk tidak sekedar membantu, tapi lebih pada mencintai dan kasih sayang antar sesama dalam melewati segala bencana yang ada.

Tidak ada lagi hubungan komunikasi simbolik yang hanya mengandalkan lambang-lambang dan simbol yang akan menjadi berhala tak bernyawa yang menghubungkan antara orang kaya dan miskin. Berhala-berhala simbol yang rentan pada penyisipan penyelewengan sikap, manipulasi dan kepentingan pribadi yang akan menimbulkan konflik di masyarakat. Oleh karenanya dalam kesempatan perayaan hari raya ini hendaknya kita meningkatkan ketaatan pada Allah SWT lewat penanaman kasih sayang dengan mengorbankan apapun yang kita miliki guna meringankan beban orang lain. Jadi jelas hari raya Qurban adalah milik semua orang bukan hanya orang kaya saja.

sumber

Koran News 06 Nov, 2011


--
Source: http://taukahkita.blogspot.com/2011/11/makna-kasih-sayang-dibalik-perayaan.html
~
Manage subscription | Powered by rssforward.com



Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

0 komentar to “'Makna Kasih Sayang Dibalik Perayaan Hari Raya Idul Adha'”

SPONSOR

STATISTIC

 

Copyright © 2009 by Bola80

Template by Blogger Templates | Powered by Blogger