Header Ad Banner

ads

Kamis, 09 Juni 2011

DIALEKTIKA TEORI KRITIS MAZHAB FRANKFURT

Thank you for using rssforward.com! This service has been made possible by all our customers. In order to provide a sustainable, best of the breed RSS to Email experience, we've chosen to keep this as a paid subscription service. If you are satisfied with your free trial, please sign-up today. Subscriptions without a plan would soon be removed. Thank you!
DIALEKTIKA TEORI KRITIS MAZHAB FRANKFURT DAN SOSIOLOGI
PENGETAHUAN PERSPEKTIF SOSIOLOGI

The existence of Critical Theory which inspired by Marx, actually directed to the reversion of
human's value and dignity as a whole. Hence, it's properly, more emancipatoric. As
important note here, that in spite of Critical Theory existed from Marx's spirit, but not meant
to adopt and dogmatize from him, just taking his great and basic thought, i.e. setting human
free from the shackle of his own creation.
In fact, the central issue of the Sociology of Knowledge is that the effort in disclosing
sociological sources in aU form of knowledge, thought and awareness of whole human's
mentaI activities. This article aims to present Critical Theory of Frankfurt Sect and the
Sociology of Knowledge in sociological perspective, in order to understand it's scientific
geneology and epistemology. And also observing the possibiUty of developing scientific
sociology in the future.
Kata Kunci: Teori Kritis dan Sosiologi Pengetahuan
Pendahuluan
Kajian teori kritis mazhab Frankfurt dan sosiologi pengetahuan, merupakan diskursus
menarik di wilayah metodologi social sciences dalam rangka mengamati problem sosial di
masyarakat. Kronologis geneologi teori kritis itu sendiri diilhami oleh semangat kritis Karl
Marx terhadap problematika sosial yang dipandu oleh kemampuan kritis metodologis dalam
kajiannya. Sementara sosiologi pengetahuan dibidani oleh Karl Mannheim di wilayah
epistemologi dalam ranah kajiannya. Pendek kata, keduanya memiliki kompetensi unik di
dalam proses pengembangan keilmuan sosiologi dewasa ini. Sebelum penulis
mempresentasikan lebih lanjut perihal teori kritis mazhab Frankfurt dan sosiologi
pengetahuan, penting kiranya mempresentasikan terlebih dahuIu paradigma keilmuan natural
sciences dalam rangka melihat dan memahami perbandingan unik keduanya. Dari sini
diharapkan dapat ditemukan kekuatan-kekuatan masing-masing keilmuan tersebut, serta
orientasi teoritis-teknis dari masing-masing keilmuan itu sendiri.
Budi Hardiman dalam bukunya Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus
Filosofis tentang Metode ttmiah dan Problem Modernitas (2003) menjelaskan, bahwa dalam
sistem pengetahuan ilmu-ilmu alam, terdapat pengandaian-pengandaian dasar dari corak
penelitiannya. Pertama, seorang ahli fisika, biologi atau kimia mengamati benda jatuh, sel,
atau larutan asam di laboratoriumnya dengan sikap berjarak, menghadapi proses-proses
alamiah itu sebagai obyek belaka. Penelitian ini mengambil sikap distansi penuh. Kedw,
dengan distansi penuh, ia harus menghadapi obyeknya itu sebagai "fakta netral", yaitu data
yang bersih dari unsur-unsur subyektifnya, seperti keingjnan-keinginan, mimpi, nafsu,
penilaian-penilaian moral/ dan seterusnya. Dengan jalan itu, ketiga, ia dapat memanipulasi
obyeknya dalam eksperimen untuk menemukan pengetahuan menurut model "sebab-akibat".
Keempat, hasil manipulasi adalah sebuah pengetahuan tentang hukum-hukum yang niscaya.
Contohnya, jika asam dicampur jadilah garam; jika air dipanaskan sampai 100 derajat C
maka air akan mendidih; jika gen A dipasangkan dengan gen M maka terjadilah organisme P,
dan seterusnya. Rumusan-rumusan linguistik macam itu disebut rumusan deduktif-nomologis
(jika..., maka...) dan tak lain dari bagian hukunvhukum alam. Kelima, teori yang dihasilkan
merupakan sebuah pengetahuan yang bebas dari kepentingan (disinterested), dapat diterapkan
secara instrumental. 1
Melanjutkan dari penjelasan di atas, muncul satu pertanyaan mendasar, bagaimana
semua pengandaian-pengandaian tersebut oleh positivisme diterapkan pada penelitian sosial,
hanya saja sekarang obyeknya bukan tikus putih, asam animo, mesin, sel, dan sebagainya,
melainkan kenyataan sosial. Apakah pemakaian rnetode penelitian ilmu-ilmu alam dapat
diterapkan tanpa masalah dalam penelitian sosial?2
Inilah yang penulis maksudkan di atas, bahwa masing-masing keilmuan memiliki
kompetensi teoritis-teknis di wilayah epistemologis bahkan aksiologisnya. Maka untuk
mengetahui sekaligus memahaminya, diperlukan critical comparative studies di dalam
melihat fenomena yang terjadi. Sekaligus puIa ditegaskan di sini, bagaimana jika yang satu
obyeknya benda-benda mati, tak berkehendak dan tak bernurani, sementara satunya lagi
subyek-obyeknya bernyawa, berkehendak dan bernurani? Bukankah menjadi permasalahan
baru bagi perkembangan keilmuan itu sendiri?
Tulisan ini mencoba mempresentasikan teori kritis mazhab Frankfurt dan sosiologi
pengetahuan berperspektif sosiologi dengan maksud, mencoba memahami geneologi
keilmuan dan epistemologinya serta melihat kemungkinan-kemungkinan pengembangannnya
dalam keilmuan sosiologi ke depan.
1 Lihat penjelasan lebih detailnya dalam Fransisco Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan
Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Hmiah dan Problem Modernitas (Yogyakarta: Kanisius, 2003),
hlm. 22-23.
2 lbid. Bandingkan dengan model penjelasan Jujun S. Suriasumantri, llmu dalam Perspektif: Sebuah
Kumpulan Karangan tentang Hakikat Ilmu Qakarta: Yayasan Obor dan Leknas LIPI, 1987). Lihat khusus pada
bagian "Ilmu-ilmu Alam dan Ilmu-ilmu Sosial: Beberapa Perbedaan" dan juga "Ilmu-ilmu Alam dan Ilmu-ilmu
Sosial: Beberapa Perbandingan".
Paradigma Teorl Kritis Mazhab Frankfurt
Kuhn, dalam karyanya berjudul The Stucture ofScientific Revolution (1974), mencoba
mempresentasikan pengetahuan paradigma fyaradigrri), yang dijelaskan sebagai satu tatanan
kepercayaan yang dianut oleh para ilmuwan, atau seperangkat persetujuan tentang bagaimana
problem harus dipahami. Paradigma itulah yang menjadi acuan dalam penelitian pada
masyarakat ilmuwan dan kriteria ini pulalah yang mengidentifikasikannya sebagai ilmu. Ilmu
yang kokoh dan mantap menurut Kuhn akan lahir dari transisi yang berkelanjutan dari satu
paradigma ke paradigma yang lain melalui proses revolusi. Saat terjadi pergantian paradigma,
dunia keilmuan akan dirubah dan diperkaya dengan fakta-fakta serta teori-teori dasar terkini.3
Bagi Kuhn, ilmuwan bukanlah sosok pemikir yang objektif dan independen. Namun
mereka adalah individu-individu konservatif yang menerima apa yang mereka pelajari dan
menerapkannya untuk memecahkan masalah-masalah yang dituliskan oleh teori-teori yang
sudah ada. Jadi kebanyakan mereka adalah pemecah teka-teki fyuzzlesolver) yang bermaksud
menyelidiki sesuatu yang sudah mereka ketahui. 4
Dalam model iknu normal (normal science) pada masa itu, Kuhn memberi definisi
normal science sebagai penelitian yang didasarkan pada hasil penelitian yang sebelumnya.
Tugas utama ilmuwan adalah memperkuat teori dan fakta yang sudah ada. Adapun
konsekuensi logisnya, adalah mereka cenderung mengabaikan temuan-temuan yang
mengancam paradigma. Sebagai contoh, ketika Ptolemy mempopulerkan pendapat bahwa
matahari mengelilingi bumi dan teori inipun bertahan selama beberapa abad, bahkan saat
muncul bukti-bukti yang bertentangan.5 Sekalipun demikian, bagi para ilmuwan muda yang
tidak terindoktrinasi oleh teori-teori yang sudah ada, relatif dapat memilah-milah dengan jelas
paradigma tersebut. Sehingga mereka dapat terlepas dari ikatan-ikatan tradisional dalam ihnu
normal.
Dalam dunia ilmu, biasanya akan muncul krisis saat ditemukan anomali-anomali
(penyimpangan, keganjilan) terhadap teori yang ada. Ada tiga langkah yang dapat diambil.
Pertama, normal science mampu mengatasi krisis problem tersebut, sehingga situasi bisa
dikembalikan menjadi 'normal'. Kedua, masalah tetap muncul serta dianggap sebagai
kegagalan alat atau sarana dalam mengatasinya, dan ketiga, munculnya paradigma baru.6
3 'Lihat selanjutnya penjelasan dalam Thomas S. Kuhn,The Stucture ofScientificRevolution, 2"^ edition,
Chicago: University ofChicago Press, 1974.
4 Ibid
5 Ibid
6 Ibid
Inilah yang menurut Kuhn, dalam revolusi ilmu, paradigma baru tidak dibangun berlandaskan
paradigma yang lama, tetapi yang terjadi adalah pergeseran, karena paradigma baru tersebut
tidak sejalan dengan yang lama. Jadi revolusi ini berakhir dengan kemenangan mutlak dari
salah satu pihak yang bertanding.
Kembali kepada persoalan di atas, secara kronologis historis kefilsafatan, teori kritis
merupakan aliran besar fikafat dan berinspirasi dari Marx. Teori kritis disebut juga aliran
Frankfurt (Frankfurter Schule), yang berasal dari Institutfur Sozialforschung di Frankfurt atau
Main di Jerman.
Adapun cara pemikiran Aliran Frankfurt, mereka sebut sebagai "Teori Kritis
Masyarakat" (leine Kritische Theorie der Gesellschaft). Maksud semula teori itu diciptakan
adalah membebaskan manusia dari pemanipulasian para teknokrat modern. Frans Magnis
Suseno mencatat, ada dua tokoh utama Teori Kritis, yakni Max Horkheimer (1895-1973) dan
Theodor Wiesengrund Adorno (1903-1969). Tokoh ketiga yang lebih berjalan sendiri tetapi
barangkali paling terkenal adalah Herbert Marcuse (1898-1979). Teori Kritis baru betul-betul
menjadi bahan diskusi menarik dikalangan filsafat dan sosiologi pada tahun 1961. Pada tahun
itu merupakan suatu momentum berharga bagi perkembangan keilmuan social sciences di
masa mendatang oleh karena adanya pertemuan dua tokoh, yakni Adorno dan Karl Popper
yang mendiskusikan Teori Kritis.7 Pada akhir dari pertemuan dan diskusi mendasar tersebut
yang diikuti oleh banyak kalangan ilmuwan, berakhir dengan Hans Albert ada di pihak
Popper dan Jurgen Habermas di pihak Adorno. Diskusi tajam itu pada akhirnya pula masuk
ke dalam sejarah filsafat di Jerman sebagai Der Positivtsmusstreit der deutschen Soztologie
(perdebatan positivisme dalam sosiologi Jerman).8 Hingga pada akhirnya, Jurgen Habermas,
murid dan pengganti Adorno di Frankfurt berhasil mengintegrasikan tuntutan keras metodemetode
analitis ke dalam pemikiran dialektis teori kritis. Seiring dengan perkembangan ilmuilmu
yang ada, teori kritis pada akhirnya menjelma menjadi guiding principle di dalam
melawan establishment.
Seiring dengan perkembangan ilmu-ilmu yang ada, teori kritis pada akhirnya
menjelma menjadi guiding principle di dalam melawan establishment.
7 Lihat seUmjutnya, Frans Magnis Suseno, Filsafat sebagai llmu Kritis (Yogyakarta:Kanisius, 1992),
hlm. 160-161 dan 166-167. Lihatjuga penjelasan Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno, Dialektika
Pencerahan, terj. Ahmad Sahidah (Yogyakarta: Ircisod, 2002), h'hat khusus pada bagian "Konsep Pencerahan
dan Batas-batas Pencerahan".
8 Lihat dan pahami kembali penjelasan Budi Hardiman perihal melampaui positivisme yang mencoba
mempresentasikan kubu-kubu keilmuan dengan masing-masing kompetensi dan kekuatannya.
Pada dasarnya, lahirnya teori kritis yang diinspirasikan dari Marx, diarahkan kepada
pengembaUan harkat dan martabat manusia seutuhnya. Karenanya, wajar jika ia Iebih
bersifat emansipatoris.
Perlu menjadi catatan penting di sini, meskipun teori kritis lahir dari semangat Marx,
tetapi tidak dimaksudkan mengadopsi dan mendogma darinya melainkan mengambil spirit
besar dan mendasar pikiran Marx, yakni membebaskan manusia dari belenggu hasil
ciptaannya sendiri.
Ada dua hal misi utama teori kritis. Pertama, teori kritis sebagai usaha pencerahan,
dan kedua, alternatif dikembangkannya kritik individu maupun masyarakat terhadap
dunianya. Pada level pertama, apa yang dikembangkan Horkheimer dan Adorno
sesungguhnya lebih dimaksudkan sebagai aufklarung atau pencerahan sekaligus merangsang
kesadaran dalam menyingkap segala hal yang menutup kenyataan dan memberangus
kemanusiaan manusia. Ketika hasil ciptaan manusia berubah menjadi sesuatu hal yang
didewakan, maka Teori Kritis mencoba "mengembalikan" bentuk-bentuk ketidaksadaran itu
tadi kembali kepada kesadaran semula manusia yang menjunjung tinggi harkatnya.9
Selanjutnya, pada level kedua, produk-produk industri yang pada awakiya sengaja
diciptakan manusia dalam rangka membantu kesulitankesulitan yang dihadapinya ternyata
membuat jurang kehancuran bagi dirinya, mencoba dikembalikan melalui Teori kritis itu tadi
sebagai alat di dalam melakukan analisis dan penyelesaiannya.
Teori kritis tidak sekadar teori yang melakukan kritik terhadap ketidakadilan sistem
yang dominan yaitu sistem sosial kapitalisme, melainkan suatu teori untuk merubah sistem
dan struktur tersebut. Teori kritis secara radikal memiliki pandangan tentang kajian antara
teori dan praktik. Dengan demikian, Teori kritis sesungguhnya justru merupakan teori
perubahan sosial atau transformasi sosial.10 Pendek kata, teori kritis bertugas memberikan
proses penyadaran kritis atau perspektif kritis kepada masyarakat.
Faradigma Sosiologi Pengetahuan Karl Mannheim
Karl Mannheirn lahir pada tahun 1893 di Budapest Hungaria dari sepasang suami
isteri berdarah Hungaria dan Jerman. Selama dua tahun, yakni tahun 1912-1914 M., ia
9 Lihat Mikhriani, "Teori Kritis dalam Tradisi Mazhab Frankfurt: Studi atas Pemikiran Jurgen
Habermas", dalam Jurnal Refleksi, Jurusan Aqidah dan Filsafat Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Juli 2004. Lihat juga Ricard L. Rubenstein, Modernization: the Humamsm
Response to Its Promise and Problems (Washington: Paragon House, 1977), lihat pada bagian "Marx and the
Question Of Salvation".
10 Mansour Fakih, Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi (Yogyakarta: Insist Press
Bekerjasama Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 94-95. Lihat juga Gianni Vaattimo, The End ofModernity: Nihilisme,
Rermeneutis, dalam Budaya, terj. Sumarwoto Dema (Yogyakarta: Sadasiva, 2003).
sempat berteman dengan George Simmel. Jauh sebelum tinggal beberapa lama di Paris, ia
sempat tinggal juga di Freiburg dan Heidelberg, dan tahun 1920 kembali ke Heidelberg
kurang lebih sepuluh tahun lamanya mencoba bertahan hidup berdampingan dengan masalah
ekonomi dan politik di Jerman.11
Pokok bahasan utama Karl Mannheim dalam kajiannya adalah epistemologi,
sebagaimana hal ini tercermin pada karya disertasinya. Dalambuku The Alienated Mind: The
sociology ofKnowledge in Germany (1983), karya David Frisby ditegaskan bahwa Mannheim
sangat tertarik pada teori-teori sosial yang pernah dikembangkan oleh Karl Marx, Max Weber
dan Max Scheler yang menaruh perhatiannya pada realitas sosial yang berkembang pada
waktu mereka hidup. Saat pengukuhan sebagai guru besar sosiologi, dan di puncak usia
kematangan keilmuannya, ia sempat bertemu dengan Max Horkheimer seorang tokoh Teori
Kritis Mazhab Frankfrut di Jerman.12
Ketika terjadi "ontran-ontran" masa pemerintahan Adolf Hitler pada tahun 1933, Karl
Mannheim diberhentikan dari Frankfurt, selanjutnya melakukan hijrah dan kemudian
menetap di London sampai ia dikukuhkan juga di sana sebagai guru besar iknu pendidikan
pada tahun 1946 pada London School of Economics and Sociology. Karya-karyanya yang
bertemakan sosiologi, mempunyai pengaruh cukup besar di London pasca ia menyunting
buku yang berjudul The International Liberary of Sociology and Social Reconstruction.
Setahun kemudian, yakni pada tahun 1947 pasca dikukuhkannya sebagai guru besar di
London pada tahun 1946, Karl Mannheim meninggal dunia dengan tenang,13 sedangkan
karya epistemologi khususnya sosiologi pengetahuan menjadi rujukan dan teori berharga bagi
dunia ilmu pengetahuan, khususnya social sciences.
Melihat dari tahun lahir dan meninggalnya, Mannheim hidup di penghujung awal
abad ke-20 bersamaan dengan semaraknya kajian kefilsafatan Jerman ala Kant. Warisan
kefilsafatan Kant, selanjutnya para pengikutnya disebut Kantianis, telah menempatkan tradisi
Kant menjadi "tradisi kefilsafatan baru" yang khas dengan rasio praktis dan rasio teoritis. 14
Dalam buku Sejarah Filsafat Barat Abad XX karya K. Bertens dijelaskan, bahwa neokantiarusme
yang berkembang dahsyat pada waktu itu mampu melahirkan dua tokoh besar,
11 Lihat penjelasannya dalam A.P. Simonds, Karl Mannhdm's Sociology of Knowledge (Oxford:
Clarendon, 1978), lihat khusus pada bagian pertama tentang riwayat hidupnya.
12 lbid. Penjelasan tentang Sosiologi Pengetahuan Karl Mannheim dapat pembaca akses di buku penulis
berjudul Ibda' Binafsika: Tafsir Baru Keilmuan Dakwah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), lihat khusus pada
bagian "Paradigma Keilmuan Sosiologi Pengetahuan Karl Mannheim".
13 Ibid
14 Lihat F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan kepentingan (Yogyakarta:
Kanisius, 1993). Bandingkan juga dengan Frans Magnis Suseno, Filsafat sebagai ilmu Kritis (Yogyakarta:
Kanisius, 2002), lihat khusus pada bagian "Pengantar: Immanuel Kant".
yakni Wimelm Dilthey dan Max Scheler. Scheler mengembangkan fenomenologi dan Dilthey
mengembangkan historisisme.
Dari kedua tokoh inUah sesungguhnya Mannheim mendapat inspirasi besar terutama
pengembangannya dalam sosiologi pengetahuan yang menjadi proyek besarnya itu. Dari
persinggungan ini kemudian Karl Mannheim menemukan titik pijaknya dalam menentang
positivisme yang dikembangkan oleh natural sciences.15 Dalam perkembangan selanjutnya,
ia juga bersentuhan dengan pemikiran Karl Marx perihal kajian yang sama tetapi dalam
perspektif yang berbeda.
Pada hakikatnya, yang menjadi isu sentral sosiologi pengetahuan adalah bentuk
upayanya dalam menyingkap asal-usul sosiologis semua bentuk pengetahuan, pemikiran, dan
kesadaran dari seluruh aktifitas mental manusia.16 Meskipun demikian, sebagaimana dikutip
Mashuri dari pendapat Budi Hardiman, secara khusus akar pemikiran sosiologi pengetahuan
(sociology of knowledge) biasanya dihubungkan dengan beberapa pemikiran filsafat Jerman
abad ke-19 yakni dialektika infra dan supra struktur Karl Marx, anti-idealisme Nietzsche dan
historisisme Wiihelm Dilthey.
Secara keilmuan dapat dicatat, bahwa sosiologi pengetahuan sesungguhnya lahir dari
konteks kritik terhadap idealisme. Kesadaran, demikian menurut Mannheim, tidak serta merta
muncul begitu saja bergantung pada kondisi dan realitas material. Kesadaran, lanjutnya, tidak
pernah berupa apapun selain eksistensi, dan tingkat keberadaan manusia sesungguhnya
adalah proses hidup mereka dalam arti yang sesungguhnya.
Pada dasarnya, apa yang dipikirkan manusia sangat ditentukan oleh realitas sosialhistorisnya.
Oleh karena itu, kesadaran bermula dari produk sosial dan tetap begitu selama
manusia ada. 17
Masih berkaitan dengan penjelasan di atas, dalam wilayah studi agama, termasuk di
dalamnya dakwah dan sosiologi agama pada umumnya, memunculkan dua pertanyaan
fundamental, pertama, bila dilihat dari sudut pandang si pelaku sosial: apakah agama itu?
Kedua, apakah dampak sosial fenomena agama di tengah masyarakat?
Diskursus agama dan sosiologi seperti ini, secara teoritik terjalin dengan persoalan
konsekuensi sosial agama bagi relasi antarkelas, keluarga, legitimasi negara dan kontrol atas
individu. Dalam perkembangannya, corak kajian seperti ini buku-buku sosiologi agama tidak
15 Bentuk penjelasan ini juga ditulis oleh Mashuri, "Sosiologi Fengetahuan Karl Mannheim", dalam
Skripsi, Fakultas Ushuluddin IAEV Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1999.
16 Max Scheler, Problems ofa Sociology ofKnowledge, terj. Manfred S. F. (London: Routledge & Paul
Kegan, 1980), lihat khusus pada halaman 138-142.
17 'Jorge Larrain, Konsep Ideologi, terj. Riyadi Gunawan (Yogyakarta: LKPSM, 1996), hlm. 36.
lagi berkiblat ke tradisi Nietzsche, Max Weber, Engels dan Sigmund Freud, tetapi justru pada
kontribusi pemikiran seperti Levi-Strauss, Michel Foucault, EUas, dan Sennett. Pasakiya,
analisis yang dilakukannya lebih intens dan bisa diletakkan daIam konteks perdebatan
ideologi, mode produksi, kekuasaan dan bahkan relasi pengetahuan.
Perkembangan mutakhir di wilayah Barat dari sosiologi agama, dapat dilihat dari
corak pendekatannya Peter Berger dalam bukunya berjudul The Social Reality ofReligion
(1969) yang sempat mewarnai perdebatan akademik sosiologi secara umum pada tahun 1970.
Dengan mendefinisikan agama sebagai sebuah proses pembentukan dunia simbol-simbol
"langit suci", Berger mencoba mensintesiskan dan bahkan menunjukkan adanya saUng
ketergantungan antara sosiologi agama dan sosiologi pengetahuan.
Menurutnya, sebagaimana anaUsis sosiologisnya yang diadaptasi dari tradisi
antropologis-Feuerbachian, bahwa pada hakikatnya manusia adalah makhluk religius, mereka
cenderung terdorong untuk menciptakan dunia yang penuh makna. Perbedaan pernyataan ini
terlihat jelas ketika dihadapkan dengan pernyataan Marxis, bahwa seseorang adalah hasil dari
bentukan tatanan dan relasi sosial yang pada gilirannya nanti cenderung merefleksikan posisi
struktur kelasnya.
18
Dalam buku Gregory Baum yang diindonesiakan Murtadjib dan Mashuri, menjadi,
Agama dalam Bayang-bayang Relativisme: Sebuah AnalisisSosiologi Pengetahuan Karl
Mannheim tentang Sintesa Kebenaran HistorisNormatif (l999), menjelaskan bahwa
tnterpretasi makna dapat dilakukanpada tiga level makna yang berbeda:
Pertama, Makna objektif, yaitu mengidentifikasi secara jelas suatu tindakan di dalam
suatu konteks lokasi sosialnya.
Kedua, Makna ekspresif, yaitu mengidentifikasi maksudmaksud subjektif dari pelaku
di dalam suatu tindakan atau atribut tertentu.
Ketiga, Makna dokumenter, yaitu semesta makna yang tersembunyi yang berasal dari
suatu analisis dari semua implikasi tindakan. Makna yang terakhir inilah yang paling
luas dan terjadi bersamaan dengan keseluruhan pandangan dari suatu zaman
(weltanschaung).
Berbicara masalah weltanschaung, dalam konteks sosiologi pengetahuan lebih
bermakna sebagai dasar interpretasi terhadap makna kultural. Asumsi dasar yang dibangun
sosiologi pengetahuan ini adalah relasi teks dan konteks. Konteks diartikan sebagai pijakan
18 Bryan S. Turner, Religion and Social Theory (London: Sage PubUcations Ltd.,1991), sebagaimana
diindonesiakan Ridwan Munzir, Agama dan Teori Sosial (Yogyakarta: Ircisod, 2003), lihaat penjelasannya
dalam "Agama-agama Lain dan Perekat Sosial".
sosial dari sebuah realitas, sedangkan teks itu sendiri adalah aktifitas manusia yang meliputi
proses berpikir, mentaI dan perilaku sosial. Dengan demikian, dapat ditegaskan di sini bahwa
reaUtas teks dan konteks datam struktur sosiologi pengetahuan berfokus pada kerangka
historisitasnya.
Dari sini maka dapat ditegaskan, bahwa sebagai teori dan pendekatan, sosiologi
pengetahuan mencoba menganalisis antara relasi pengetahuan dan kehidupan yang ada,
sedangkan sebagai prosedur riset sosiologis-historis, berupaya menelusuri bentuk-bentuk
yang diambil oleh kaitan itu dalam perkembangan intelektual manusia. Sosiologi
pengetahuan muncul dalam usahanya untuk mengembangkan berbagai keterkaitan yang
mencolok dalam krisis pemikiran modern khususnya dalam ilmu-iknu sosial-historis, dan
khususnya tentang pertalian sosial antara teori-teori dan bentuk-bentuk pemikiran. Sosiologi
pengetahuan bertujuan untuk menemukan kriteria-kriteria yang operasional untuk
menemukan keterkaitan antara pikiran dan tindakan, dan ingin mengembangkan suatu teori
yang cocok untuk zaman sekarang ini mengenai makna faktor-faktor non-teoritis yang
menentukan datom pengetahuan.19
Perspektif Sosiologis
Kajian psikologi membagi dua jenis dorongan yang ada di dalam setiap diri manusia:
1) pada mulanya dalam diri manusia didorong oleh dorongan untuk mengejar kekuatan dan
kekuasaan sebagai lantaran untuk mencapai kompensasi bagi rasa rendah dirinya, dan 2)
selanjutnya dalam diri manusia didorong oleh dorongan kemasyarakatan yang dibawa sejak
lahir yang menyebabkan dia menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi. 20
Penulis sengaja mengawali sub tema perspektif sosiologi dengan ilmu bantu psikologi
dalam rangka melakukan proses interkonektif di wilayah empirik. Ilmu bantu psikologi
menjadi signifikan bila proses sosiologis berkolaborasi dengan ilmu-ilmu bantu lainnya di
dalam mencapai tujuan, salah satunya psikologi.
Kembali kepada persoalan di atas, perspektif sosiologi dalam aplikasinya, melihat dan
memahami persoalan sosial dengan kacamata "apa kepentingan dibalik suatu aksi" (kritik
ideologi). Jika menitik kembali apa yang disebut dorongan manusia dalam masyarakat sosialnya,
maka dorongan kekuasaan dan dorongan bermasyarakat merupakan dorongan yang
memandu manusia untuk mencapai tujuannya. Hal yang menarik di sini adalah proses-proses
19 A.P. Simonds, Karl Mannheim..., op. cit., hlm. 289-299.
20 Lihat penjelasan Sumadi Suryabrata, Psikologi Kepribadian Qakarta: Rajawali Press, 1990), lihat
pada bagian "Psikologi Individual: SuatuPendekatan Secara Psikologi Sosial". Bandingkan dengan Rendra K.
(ed.), Metodologi Psikologi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000). Andy Dermawan (ed.), Metodologi Ilmu
Dakwah (Yogyakarta:
Lesfi, 2002).
di dalam menuju atau mencapai tujuannya itulah yang kemudian dikritisi sosiologi sebagai
keunikan-keunikan manusia di dalam mempresentasikan dan mengekspresikan dirinya di
arena publik.
Perspektif ilmu-ilmu sosial secara umum, menempatkan masyarakat atau kehidupan
bersama sebagai obyek yang dipelajarinya. Dalam sosiologi justru lebih spesifik lagi, yakni
memfokuskan dirinya pada hal yang empirik, yakni mendasarkan pada observasi terhadap
kenyataan dan hasilnya tidak bersifat spekulatif. Kemudian, bersifat teoritik, yakni berusaha
menyusun abstraksi dari hasil-hasil observasi. Abstraksi tersebut merupakan kerangka
daripada unsur-unsur yang tersusun secara logis serta bertujuan untuk menjelaskan
hubungan-hubungan sebab-akibat, sehingga menjadi teori. Sefonjutnya adalah bersifat
kumulatif, yakni teori-teori sosiologi dibentuk atas dasar teori-teori yang sudah ada dalam arti
memperbaiki, memperluas, dan memperhalus teori-teori yang lama. Sedangkan yang terakhir
adalah bersifat nonetis, yakni yang dipermasalahkan bukan baik-buruk fakta tertentu, tetapi
tujuannnya adalah untuk menjelaskan fakta tersebut secara analisis.21
Merunut kembali pada teori kritis mazhab Frankfurt dan sosiologi pengetahuan,
secara perspektif sosiologis menegaskan bahwa kajian ini mendasarkan pada problematika
individu dan kelompok masyarakat pada umumnya, termasuk melihat dorongan-dorongan
yang ada pada dirinya serta korelasi pengetahuan dan kepentingan itu sendiri, melalui
pengintegrasian antar ilmu-ilmu yang ada, atau ilmu-ilmu bantu. Bagi teori kritis, tugas teori
adalah menciptakan sejarah babak baru manusia yang terbebas dari dominasi pasar dan antar
sesama. Karena itu, teori kritis, dan sosiologi pengetahuan, bukan sekadar ber urusan dengan
benar atau salah tentang fakta atau suatu realitas sosial yang terjadi, tetapi bertugas
memberikan proses penyadaran kritis atau perspektif kritis kepada masyarakat tentang
bagaimana kepercayaan masyarakat telah membentuk realitas sosial tersebut.22 Inilah yang
disebutkan di atas tentang sifat-sifat sosiologi, yakni empirik dan nonetis. Artinya, proses
penyadaran dan kritis itu dilihat secara apa adanya berdasarkan bentukan reaUtas sosialnya,
bukan rekayasa dan klaim-klaim etis.
Kaitannya dengan fakta sosial, menarik sekali jika dikaitkan dengan pemikiran Jurgen
Habermas dan Adorno. Dalam hal ini, Habermas sebagaimana Adorno menolak tegas
anggapan bahwa ada pengetahuan yang bebas kepentingan. Bukan pengetahuan yang bebas
kepentingan, melainkan pencerahan tentang kepentingan yang mendorong pengetahuan itulah
21 Lihat Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar Qakarta: Rajawali Press, 1988), hlm. 21.
22 Mansour Fakih, Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi (Yogyakarta: Insist Press Bekerjasama Pustaka
Pelajar, 2001), hlm. 94-95. Lihat juga Gianni Vaattimo, The End ofModernity: Nihilisme, Hermeneutis, dalam Budaya, terj.
Sumarwoto Dema (Yogyakarta; Sadasiva, 2003).
yang membongkar selubung ideologis. Agaknya, Mannheim pun nyaris senada dengan
mereka khususnya yang berkaitan dengan pengetahuan dan kepentingan. Bagi Mannheim,
justru kekhasan sosiologi pengetahuan terletak pada proses-proses penyingkapan asal-usul
sosiologis semua bentuk pengetahuan, pemikiran, dan kesadaran dari seluruh aktifitas mental
manusia. Dari sini tampak jelas sekali, bahwa ada suatu "kerjasama proyek pengetahuan"
antara teori kritis dan sosiologi pengetahuan di dalam rnemperspektifi pengetahuan dan
kepentingan.
Manusia mengetahui karena ia berkepentingan akan pengetahuan. Karena itu ilmu
pengetahuan terwujud dari dalam oleh kepentingan. Setidaknya ada tiga macam ilmu yang
didorong seakan-akan dari dalam oleh tiga kepentingan dasar manusia. Pertama, ilmu-ilmu
empirikanalitik didorong oleh kepentingan teknis, kepentingan untuk memanfaatkan apa yang
diketahui. Kedua, ilmu-ilmu historis-hermeneutis, diarahkan oleh kepentingan praktis (dalam
arti aristotelian), kepentingan untuk memahami makna. Ketiga, ilmu-iknu kritis (filsafat dan
psikoanalisis misalnya) didorong oleh kepentingan emansipatoris, kepentingan untuk
membebaskan. Ketiga inilah yang disebut Habermas sebagai kuasa-transendental karena tak
bersifat empirik melainkan masuk dengan sendirinya ke dalam struktur pengetahuan yang
bersangkutan. Tiga kepentingan manusia ini sejajar dengan tiga medan kehidupan manusia,
yakni alam, masyarakat dan kekuasaan. 23
Penutup
Apa kepentingan di balik suatu aksi? Itulah sesungguhnya yang menjadi paradigma
teori kritis. Ia, sebagaimana hamya sosiologi pengetahuan, mencoba melihat sekaligus
memahami dorongan-dorongan yang ada pada diri individu dan masyarakat serta korelasi
pengetahuan dan kepentingan. Tugas teori adalah menciptakan sejarah babak baru manusia
yang terbebas dari dominasi apapun. Karena itu, teori kritis, dan sosiologi pengetahuan,
bukan sekadar berurusan dengan benar atau saIah tentang fakta atau suatu realitas sosial yang
terjadi, tetapi bertugas memberikan proses penyadaran kritis atau perspektif kritis kepada
masyarakat tentang bagaimana kepercayaan masyarakat telah membentuk realitas sosial.
Adapun salah satu kata kunci dari implementasi teori kritis dan sosiologi pengetahuan adalah
kesadaran. Menurut Mannheim, demikian halnya Habermas, kesadaran tidak serta merta
muncul begitu saja tetapi bergantung pada kondisi dan realitas materialnya. Kesadaran tidak
pernah berupa apapun seIain eksistensi, dan tingkat keberadaan manusia sesungguhnya
adalah proses hidup mereka dalam arti yang sesungguhnya. Dari sinilah proses dan hasil
23 Franz Magnis-Suseno, "75 Tahun Jurgen Habermas", dalam Majalah Basis, Nomor 11-12, tahun ke-53,
November-Desember 2004, hlm. 5-7.
manusia itu ditentukan. Berdasarkan paparan tersebut, maka dapat ditegaskan, bahwa
integrasi-interkonektif teori kritis dan sosiologi pengetahuan di wilayah empirik rnampu
menghasilkan tiga pola hubungan mendasar dalam masyarakat, yakni pola hubungan dengan
dunia obyektif (the world), kemudian pola hubungan dengan dunia subyektif (one's own
world), dan pola hubungan dengan dunia sosial (our world).

Daftar Pustaka
Dermawan, Andy (ed.)- Metodologi Ilmu Dakwah, Yogyakarta: Lesfi, 2002.
_________, lbda' Binafsika: Taf$ir Baru keilmuan Dakwah, Yogyakarta: Tiara Wacana,
2005.
Fakih, Mansour. Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi, Yogyakarta: Insist Press
Bekerjasama Pustaka Pelajar, 2001.
Hardiman, Fransisco Budl. Metempaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis
tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Yogyakarta: Kanisius, 2003.
________, Kritik ldeologi: Pertautan Pengetahiwn dan kepentingan, Yogyakarta: Kanisius,
1993.
Horkheimer, Max dan Theodor W. Adorno, Dialektika Pencerahan, terj. Ahmad Sahidah,
Yogyakarta: Ircisod, 2002.
Kuhn, Thomas S. The Stucture ofSdentific Revolution, 2^ edition, Chicago: University of
Chicago Press, 1974.
Larrain, Jorge. Konsep ldeologi, terj. Riyadi Gunawan, Yogyakarta: LKPSM, 1996.
Mashuri, "Sosiologi Pengetahuan Karl Mannheim", dalam Skripsi, Fakultas Ushuluddin lAlN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1999.
Mikhriani, "Teori Kritis dalam Tradisi Mazhab Frankfurt: Studi atas Pemikiran Jurgen
Habermas", dalam ]urnal Refleksi, Jurusan Aqidah dan Filsafat Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Juli 2004.
Rendra K. (ed.), Metodologi Psikologi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Rubenstein, Ricard L. Modernization; the Humanism Response to Jts Promise and Problems,
Washington: Paragon House, 1977.
Scheler, Max. Problems ofa Sociology ofKnowledge, terj. Manfred S. F., London:
Routledge&Paul Kegan, 1980.
Simonds, A.P. Karl Mannheim's Sociology ofKnowledge, Oxford: Clarendon, 1978.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi: Suatu Pengantar, Jakarta: RajawaU Press, 1988.
Suriasumantri, Jujun S. ttmu dalam Perspektif: $ebwh Kumpulan Karangan tentang Hakikat
llmu, Jakarta: Yayasan Obor dan Leknas LIPI, 1987.
Suryabrata, Sumadi. Psikologi Kepribadian, Jakarta: Rajawali Press, 1990.
Suseno, Frans Magnis. Filsafat sebagai llmu Kritis, Yogyakarta: Kanisius, 1992.
______, "75 Tahun Jurgen Habermas", dalam Majalah Basis, Nomor 11-12, tahun ke-53,
November-Desember 2004.
Turner, Bryan S. Religion and Social Theory, London: Sage Publications Ltd., 1991.
______, Agama dan Teori Sosial, terj. Ridwan Munzir, Yogyakarta: Ircisod, 2003.
Vaattimo, Gianni. The End ofModernity: Nihilisme, Hermeneutis, dcdam Budaya, terj.
Sumarwoto Dema, Yogyakarta: Sadasiva, 2003.

Admin 09 Jun, 2011


--
Source: http://krisnahomerecord.blogspot.com/2011/06/dialektika-teori-kritis-mazhab.html
~
Manage subscription | Powered by rssforward.com



Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

0 komentar to “DIALEKTIKA TEORI KRITIS MAZHAB FRANKFURT”

SPONSOR

STATISTIC

 

Copyright © 2009 by Bola80

Template by Blogger Templates | Powered by Blogger